Kematangan Politik di Tubuh Masyumi -->

Silakan ketik kata kunci

Recent Posts

Kematangan Politik di Tubuh Masyumi


Tak ada partai politik yang terbebas dari friksi. Hatta, sekalipun partai politik Islam. 

Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Konflik tak akan dapat dihindari. Itu menandakan bahwa terjadi dinamika. Tanda bahwa organisasi itu hidup. Tanda bahwa sedang terjadi proses pertumbuhan yang progresif di tubuh partai. 

Tantangannya adalah, bagaimana mengelola konflik yang terjadi agar tak berujung pada permusuhan, perpecahan, hingga saling serang secara verbal bahkan fisik. Jika itu terjadi, jelas tak ada yang diuntungkan. Semua sarana dan tujuan dalam politik akan hancur berantakan. 

Di dalam tubuh Partai Masyumi waktu itu ada 3 faksi--sebagian menyebut 2 faksi. Faksi Natsir, faksi Soekiman, dan faksi Isa Anshary. Faksi Natsir dikenal modernis, faksi Soekiman dicap konservatif, faksi Isa Anshary dikenal frontal dan nonkompromis. 

Isa Anshary, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Masyumi Jawa Barat--daerah pemilihan yang paling subur bagi Masyumi--ngotot mendirikan Front Antikomunis yang dianggap tidak sejalan dengan garis partai. Front Antikomunis bahkan terlibat adu fisik dengan massa PKI di beberapa daerah, satu hal yang sangat dihindari oleh Masyumi. Tapi daya tarik dan retorika Isa Anshary yang dijuluki singa podium berhasil membuat sebagian anggota Masyumi bergabung ke dalam Front Antikomunis. 

Namun hingga Masyumi dibubarkan, tak satu pun dari mereka keluar atau meninggalkan Masyumi. 

Bahkan hingga di akhir usia Masyumi, ketika Natsir terlibat PRRI dan Soekarno mendesak Soekiman untuk mengumumkan M. Natsir sebagai pemberontak dan pengkhianat, Soekiman dengan tegas menolak. Padahal, jika ia mau, itu kesempatan terbaik baginya untuk "menghajar" Natsir setelah demikian lama perbedaan pendapat meruncing. 

Kematangan berpolitik yang ditunjukkan tokoh-tokoh Masyumi bukan hanya ditunjukkan dengan pikiran-pikiran brilian dalam mengambil keputusan-keputusan politik, atau retorika di depan publik dan wartawan, tapi juga ditunjukkan dengan kedewasaan ketika harus memilih berbeda dalam satu tubuh yang sama. Perbedaan seharusnya membuat kaya, karena ide-ide dan gagasan segar yang melimpah, bukan justru menyebabkan perpecahan. 

Mengkritik bukan berarti memusuhi. Dan dikritik bukan berarti dimusuhi. Sehingga harus memosisikan diri saling berhadapan, seolah dua musuh bebuyutan di medan perang. Setiap organisasi atau partai politik membutuhkan otokritik, sebab mereka tidak dihuni oleh sepasukan malaikat. Pengurus dan anggotanya hanya manusia yang bisa salah dan lupa.

Jadi tak perlu memisahkan diri, jika memang masih sehaluan. Terus berada di dalam dan lakukanlah perbaikan-perbaikan. Kecuali memang, sudah merasa beda tujuan, tentu tak akan mungkin bisa dipersatukan. Maka silakan pergi, tanpa membawa kesumat dan sakit hati.

Penulis: Rafif Amir
Editor: Rafif Amir
Join Telegram @rafifamir @rafif_amir
Cancel