Partai Gelora resmi memberi dukungan pada Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi walikota Solo pada Jumat (18/9).
Ketua umum Partai Gelora, Anis Matta menyebut keputusan itu berdasarkan dinamika yang terjadi di daerah. "Para pengurus partai di daerah lebih mengetahui dinamika tersebut," ungkapnya seperti dilansir detik.com.
Sikap partai baru itu dinilai beberapa kalangan sebagai bagian dari upaya melanggengkan dinasti politik yang hendak dibangun oleh Jokowi.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah menolak tuduhan itu. Menurutnya tidak ada dinasti politik di negara demokrasi. "Dia dipilih melalui prosesi politik. Orang yang masuk prosesi politik, belum tentu menang dan belum tentu juga kalah," ujar Fahri.
Fahri seperti hendak menguliahi publik tentang demokrasi. Semua paham bahwa Pilkada adalah proses demokrasi. Tak ada yang menyangkal bahwa Gibran juga mengikuti aturan dalam proses pencalonannya. Tapi mata jutaan rakyat tak dapat ditutupi. Rakyat juga tak dapat dibohongi dengan sandiwara politik Jokowi.
Campur tangan Jokowi begitu terang, dimulai ketika dia memanggil Achmad Purnomo-- kandidat walikota yang diusung PDIP sebelumnya--ke istana. Apapun alasannya, publik melihat bahwa itu isyarat "tangan ajaib" Jokowi sedang bekerja memuluskan Gibran menjadi orang nomer satu di Solo.
Fahri boleh bersilat lidah, tetapi dukungan Gelora pada Gibran tak bisa membantah bahwa partai baru ini tak memiliki sikap yang jelas. Apalagi sebelumnya Fahri pernah mengkritik Gibran agar tidak maju dalam Pilkada.
Arah Baru yang digaungkan Gelora ternyata sama dengan partai politik lainnya. Politik yang pragmatis. Arah menuju kekuasaan tanpa peduli pada bagaimana cara kekuasaan itu diraih. Sikap ini bertolak belakang dengan sikap politik PKS, partai tempat para pendiri Gelora dilahirkan.
Demi menjadi "nasionalis" dan "moderat", Gelora merapat pada kekuasaan. Mendukung Gibran sebagai salah satu upaya, setelah dua bulan lalu datang ke istana dan bertemu presiden. Entah seperti apa manuver-manuver berikutnya.
Padahal, menjadi nasionalis tak harus menghilangkan identitas dan integritas. Partai yang berkarakter adalah partai yang dibangun oleh orang-orang idealis dan menunjukkan idealismenya itu melalui sikap politik yang enggan berkompromi dengan segala hal yang mengarah pada otoritarianisme.
Fahri pernah bersuara lantang tentang otoritarian yang terjadi dalam sistem demokrasi, apakah tidak berarti pula politik dinasti tak mungkin terjadi dalam alam demokrasi? Bungkusnya demokrasi, tapi esensinya adalah kesewenang-wenangan dan penyelewengan!
Kita sama-sama tahu, politik hari ini adalah politik tanpa kelamin. Tak menarik sama sekali. Ketika pesta demokrasi akan dimulai, masing-masing ambil posisi dan saling berseberangan, tetapi setelah pesta usai, semua merapat pada kekuasaan. Partai yang bertahan sebagai oposisi, sesungguhnya dialah partai yang sedang memperjuangkan demokrasi tetap hidup dan tegak!
Sidoarjo, 19 September 2020
Cancel