Refly Harun: Arah Barunya Ternyata Mendukung Gibran -->

Silakan ketik kata kunci

Recent Posts

Refly Harun: Arah Barunya Ternyata Mendukung Gibran


Pakar hukum tata negara, Refly Harun, dalam akun Youtube-nya mengulas silang pendapat Fahri Hamzah dan Said Didu.

Said Didu mengkritik Fahri Hamzah karena Partai Gelora mendukung Gibran maju sebagai Cawalkot Solo dan itu dianggap melanggengkan jalan bagi dinasti politik. Fahri membalas kritik itu dengan mengatakan bahwa tidak ada dinasti politik dan orang yang mengatakannya adalah orang bodoh.

Said Didu merespon balik pernyataan itu dengan mengatakan, "Bung @Fahrihamzah, saya tetap berpendapat bahwa penguasa yang mencalonkan keluarganya untuk posisi jabatan politik saat masih berkuasa adalah jalan menuju dinasti politik. Biarlah saya dan yang berpendapat demikian Anda cap sebagai orang bodoh. Selamat dengan arah barunya."
Menanggapi polemik itu, Refly Harun yang juga salah seorang deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), mengatakan arah baru Partai Gelora ternyata ke Gibran juga.

Padahal, kata Refly, partai baru diharapkan memberi angin segar bagi perpolitikan tanah air. Apalagi katanya Gelora lahir karena menentang politik oligharkis di PKS. "Kalau PKS sekarang berada dalam oposisi, maka harusnya Gelora lebih oposisi lagi."

Nyatanya tidak demikian. Bahkan saat ini kita tak dapat membedakan antara Gelora dengan PSI--yang konon partainya anak muda. PSI bahkan kata Refly, lebih PDIP dari PDIP. Menjadi tameng utama setiap ada kritik yang mengarah pada presiden.

Mungkin demikian pula dengan Gelora. Sebelumnya Fahri telah bertemu presiden di Istana. Jokowi mengatakan kangen dengan kritik-kritik Fahri yang lalu dipertegas rasa kangen itu dengan pemberian bintang tanda jasa.

Tentu "tak ada makan siang yang gratis". Rasa kangen itu harus dibayar. Dan mendukung Gibran adalah salah satu cara menebusnya. 

Tak banyak kader Gelora yang kritis atas keputusan itu. Padahal sebelumnya mereka  mengaku adalah orang-orang kritis di PKS. Nyatanya, mereka mengekor setia keputusan Fahri dan Partai Gelora.

Sebagaimana taring Fahri yang tanggal, mereka dengan sukarela menanggalkan taringnya pula. Namun demikian, anehnya, taring mereka tetap tajam terhadap partai tempat dulu mereka berkiprah, yang telah mengantarkan mereka menuju capaian-capaian sosial dan politik. Kalau boleh diibaratkan, Partai Gelora adalah rumah yang dihuni oleh sekumpulan Malin Kundang.

Sikap Partai Gelora yang merapat pada kekuasaan tak pelak menimbulkan tanda tanya besar: arah baru apa yang ingin ditunjukkan?

Sebagian akan mengatakan bahwa "politik itu dinamis" atau "politik itu cair" yang kemudian mereka maknai bahwa apa saja boleh dilakukan dalam politik, asal menguntungkan. Terlepas etis atau tidak etis. Halal atau haram. Idealis atau pragmatis. 
Maka jika demikian, arah baru yang mereka maksud adalah jalan sesat dan menyesatkan.

Sebagian lagi mengatakan, Gelora meniru AKP yang dulu dicap sekuler. Mereka ingin mengadopsi politik Turki pasca Mustofa Kemal ke dalam politik Indonesia hari ini. Jika saja mereka mau membuka mata lebar-lebar, sangat terang bahwa dinamika politik Turki pasca Mustofa Kemal dan Indonesia hari ini sangat jauh berbeda. Jika di Turki saat itu sekulerisme masih mengakar, saat ini umat justru memiliki kesadaran massal terhadap politik Islam--pasca aksi 212 yang fenomenal.

Umur Gelora mungkin bisa lebih panjang--karena menyusu pada kekuasaan, tapi jika arahnya seperti yang ditunjukkan hari ini, maka ia tidak akan pernah menjadi pemenang. Karena tempat itu, dari dulu sampai sekarang, sudah dikuasai PDIP.

Kecuali memang Gelora tidak dimaksudkan menjadi partai pemenang. "Hanya sekadar menampung orang-orang yang marah dan kecewa," kata Refly.

Penulis: Rafif Amir
Editor: Rafif Amir 
Join Telegram @rafifamir @rafif_amir
Cancel