"Jika seluruh ikhwan mati--dan dakwah mempunyai pelindung, maka itu lebih baik daripada kita sampai di puncak kemenangan dengan jalan pengkhianatan!"
Itulah kata-kata Hasan Al-Hudhaibi, Mursyid 'Am kedua Ikhwanul
Muslimin, saat beberapa anggotanya berteriak marah pada rezim dan meminta izin
untuk menghabisi tokoh-tokohnya. Hasan Al-Hudhaibi menolak. Ia tak ingin
menempuh jalan kekerasan dalam menghadapi rezim yang telah menindas jamaah
Ikhwanul Muslimin.
"Kita adalah muslim sebelum segalanya. Jika kita menguasai
dunia dengan membunuh akhlak Islam, maka kitalah yang rugi," lanjutnya.
Namun demikian, bukan berarti ia berkompromi dengan kekuasaan.
Ia hanya ingin mengajarkan kepada para kadernya tentang ketegaran dan
kesabaran. Dua hal itu tak boleh lenyap dari jiwa seorang muslim.
Ia telah dipilih sebagai Mursyid 'Am, menggantikan Hasan
Al-Banna. Bukan atas kemauannya sendiri. Ia bahkan sempat menolak karena merasa
tak layak. Tapi jamaah telah memutuskan. Maka Hasan Al-Hudhaibi menerimanya
dengan dada lapang.
Dalam pidato pertamanya, ia mengatakan, "Sungguh, aku tahu
akan memimpin dakwah, di mana pemimpin pertamanya syahid karena dibunuh. Ketika
para aktivis dakwah tersebut diusir dan disiksa di jalan Allah, ia (Imam Hasan
Al-Banna) ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Aku yakin diriku tidak pantas
menggantikan imam sekaligus reformer, seperti Hasan Al-Banna Rahimahullah.
Tidak ada istilah maju atau mundur dari keinginan Al-Ikhwan Al-Muslimun untuk
menunaikan hak Allah Azza wa Jalla. Aku hanya mengharapkan wajah-Nya, tidak
minta pertolongan kecuali kepada kekuasaan dan kekuatan-Nya."
Dan ketika pada akhirnya Hasan Al-Hudhaibi dijebloskan dalam
penjara oleh rezim, ia membuktikan kebenaran kata-katanya. Ia menolak fasilitas
istimewa yang hanya ditujukan pada dirinya, kecuali semua anggota Ikhwan telah
mendapatkannya.
Kepada Direktur Penjara Militer ia berkata, "Jika engkau
sanggup memberikan layanan istimewa ini kepada seluruh ikhwan yang ada di sini,
maka aku akan sangat senang jika aku menjadi orang yang paling akhir
menerimanya. Jika tidak, gunakan saja alat itu untuk dirimu sendiri dan terima
kasih atas usahamu ini."
Begitu besar perhatian Hasan Al-Hudhaibi kepada ikhwan lainnya.
Ia membaur dan berbuat baik kepada mereka, layaknya seorang ayah kepada
anaknya. Suatu ketika ia mendapatkan salah seorang al-Akh menangis cukup keras
di tengah malam buta. Begitu ada kesempatan berdua, Hasan Al-Hudhaibi
menghampiri al-Akh tersebut. "Aku tahu engkau menangis karena takut pada
Allah," katanya, "Ini jelas tingkatan yang tinggi dan kami semua
sangat mendambakannya. Namun jika penjaga rutan mendengar tangisanmu dan tahu
posisimu yang tinggi dalam dakwah ini, maka mereka akan pergi ke atasannya yang
dzalim dan mengatakan bahwa pemimpin Ikhwan diliputi ketakutan karena penahanan
hingga menangis cengeng seperti anak kecil."
"Tahanlah suara tangismu," lanjut Hasan Al-Hudhaibi.
Nabih Abdu Rabbih dalam bukunya Hasan Al-Hudhaibi, Al-Mursyid
Ats-Tsani lil Ikhwan Al-Muslimun mengatakan, "Hasan Al-Hudhaibi adalah
orang jujur yang tidak berbohong, orang suci yang tidak mudah menerima
dispensasi, orang lurus yang tidak munafik, orang besar yang tidak takluk,
pemberani yang tidak mundur, dan orang tangguh yang tidak loyo. Lebih dari itu,
Hasan Al-Hudhaibi adalah bara iman dan jihad, yang tidak suka santai dan
bermain mata dalam prinsip."
Ketika penindasan terhadap Ikhwanul Muslimin dilakukan secara
seporadis oleh rezim, saat itu Hasan Al-Hudhaibi sedang melakukan kunjungan ke
Suriah dan Libanon. Demi mendengar itu, ia segera mempercepat jadwal
kepulangannya ke Mesir. Meski banyak yang menyarankan agar ia tetap tinggal di
Suriah atau Libanon, namun sebagai pemimpin tertinggi Al-Ikhwan Al-Muslimun ia
tak ingin membiarkan kadernya ditangkap dan disiksa, sementara ia hidup enak di
negeri lain. Keputusannya bulat, ia harus kembali ke Mesir.
Ikhwanul Muslimin akhirnya dibekukan. Tapi ia tetaplah seorang
Mursyid 'Am. Di hadapan Syamsyu Badran, Direktur Penjara Militer Mesir, Hasan
Al-Hudhaibi tegas mengatakan, "Negara hanya membekukan jamaah Al-Ikhwan
Al-Muslimun di Mesir, sedangkan aku Mursyid 'Am Al-Ikhwan Al-Muslimum
sedunia."
Dibekukannya Al-Ikhwan Al-Muslimun menjadi bukti bahwa Hasan
Al-Hudhaibi tak pernah tunduk pada rezim yang zalim. Namun demikian, keluhuran
akhlaknya tak membuat ia menyimpan dendam. Ketika Raja Faruk tumbang dan
ia--andaikan mau--memiliki kesempatan untuk menyerang, namun tidak ia lakukan.
Hasan Al-Hudhaibi justru melarang ikhwan dan koran-korannya menyerang atau
"menghabisi" raja yang turun tahta itu.
Benarlah kata Hasan Al-Hudhaibi, "Negeri kebatilan itu
hanya sesaat. Sedangkan negeri kebenaran itu lama hingga hari kiamat."
Penulis: Rafif Amir
Editor: Rafif Amir
Cancel