Kebudayaan Tak Boleh Mati -->

Silakan ketik kata kunci

Recent Posts

Kebudayaan Tak Boleh Mati

Indra Tranggono

"Kebudayaan belum diurus secara optimal," tulis Indra Tranggono di rubrik opini Kompas (28/1/2020). "Negara kita lebih sibuk mengurusi ekonomi daripada kebudayaan."

Saya setuju dengan apa yang dikatakan Indra Tranggono itu. Ekonomi negara memang penting, tapi kebudayaan tak kalah penting. Dampak dari peningkatan ekonomi mungkin tampak dalam waktu singkat, tapi kerja membangun kebudayaan  akan terlihat hasilnya dalam beberapa tahun ke depan. Pada ujungnya, kerja-kerja budaya juga akan menciptakan kemakmuran.

Studi David McClelland mengungkap, saat Inggris dan Spanyol sama-sama berada di puncak kejayaan (pada tahun 1560-an), rakyat Inggris banyak mendapat kisah-kisah heroik, cerita-cerita perjuangan, sementara rakyat spanyol dihibur dengan kisah-kisah hidup penuh kemewahan. 20 tahun kemudian, perekonomian Inggris semakin melejit, sementara Spanyol terpuruk, dan pada Agustus 1588, Spanyol harus takluk pada Inggris dalam sebuah pertempuran di Pantai Gravelines.

"Inggris menang karena memiliki need for achievement lebih tinggi daripada spanyol," tulis McClelland dalam bukunya The Achieving Society. Need for achievement salah satunya ditentukan oleh corak cerita rakyat.

Kekalahan Rusia atas Jepang di Selat Tsusima pada tahun 1905 juga bukti bahwa peranan budaya begitu menentukan. Geoffrey Jukes mengatakan, bukan teknologi yang menentukan kemenangan, tapi tingkat literasi. Tentara Rusia yang bisa membaca dan menulis saat itu hanya 20%, sementara hampir semua tentara Jepang dapat membaca dan menulis. Kesalahan membaca peta, serta cara mengoperasikan senjata modern yang diimpor dari Jerman menjadi awal dari kekalahan yang menyakitkan itu.

"Kebudayaan Belum Jadi Panglima", esai Indra Tranggono yang saya baca itu seolah menguatkan tulisan Radhar Panca Dahana di koran yang sama beberapa hari lalu: Sakratul Maut Seni Budaya. Bedanya, kalau tulisan Radhar begitu cadas dan keras, tulisan Indra lebih lunak dan solutif. Tapi saya menikmati keduanya.

Simak bagaimana Radhar tanpa tedeng aling-aling menunjuk hidung pemerintah: "Saya tidak tahu sampai kapan kedegilan pemerintah ini terjadi? Apakah hingga kebudayaan dimakamkan, dan bangsa menjadi mayat, atau zombi yang hidup hanya untuk menciptakan keburukan dan kebobrokan?... Jatuh lebamnya kebudayaan ke titik nadir, titik terendah dalam sejarah peradaban Nusantara ini sama sekali tidak disadari oleh para pengambil kebijakan. Mereka tidak peduli karena merasa paling awal selamat jika terjadi kehancuran total." (Kompas, 21/1/2020)

Sementara yang menarik, Indra Tranggono mengatakan bahwa, "Penguasa politik di negeri ini lebih memilih menjadi politikus karier daripada politikus berkapasitas budaya (pemikir, ideolog, inisiator pengembangan budaya masyarakat dan pejuang peradaban)."

Ketika kaya, kata Indra, para politikus itu tidak mendirikan dan mengaktifkan lembaga-lembaga budaya, tetapi hanya berpikir bagaimana melipatgandakan keuntungan melalui perusahaan-perusahaan.

Literasi kita memang menggeliat, tapi mereka yang bergerak adalah para relawan dan pejuang yang rela tak dibayar, demi melihat bangsa kita tumbuh menjadi lebih cerdas dan beradab. Dalam Sakratul Maut Seni Budaya Radhar menyindir, APBD sebuah provinsi yang puluhan triliunan rupiah hanya menganggarkan 75 juta/tahun untuk Dewan Kesenian.

Saya juga tak paham bagaimana cara pemerintah membangun mental bangsa, alih-alih membangun peradaban seperti yang sering didengungkan. Kebudayaan dipinggirkan. Dihargai rendah. Saya jadi bisa memaklumi sikap Eka Kurniawan, sastrawan yang pernah menjadi kandidadat peraih Man Booker Prize, saat ia menolak anugerah kebudayaan dari Kemendikbud karena menganggap hadiah terlalu kecil dan itu berarti apresiasi yang rendah dari pemerintah terhadap kebudayaan.

Kita kecewa, tapi seharusnya tak boleh bergantung pada pemerintah. Kitalah yang akan menggerakkan kebudayaan itu. Napas-napas kitalah yang akan menghidupkan kebudayaan itu. Sebab negara dan bangsa ini bukan milik pemerintah. Kitalah yang berdaulat dan kitalah yang menentukan nasib kita sendiri.

Penulis: Rafif Amir
Editor: Rafif Amir 
Join Telegram @rafifamir @rafif_amir
Cancel