Suatu ketika pasca perang Badar, Abu Sufyan, sang gembong kafir Quraisy murka. Ia mengumpulkan 3000 pasukannya dan pergi meninggalkan Mekkah bersama mereka. Mereka singgah di sebuah tempat yang tak jauh dari bukit Uhud.
Mengetahui hal itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengadakan musyawarah bersama para sahabatnya. Musyawarah memutuskan bahwa kaum muslimin harus keluar dari Madinah dan menghadapi musuh di balik bukit Uhud. Meski Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam lebih sepakat bahwa sebaiknya kaum muslimin tetap berjaga di Madinah, namun beliau segera mengenakan baju besinya.
Kemudian beberapa orang mulai berubah pikiran dan berkata,"Wahai Rasulullah, jika Anda lebih suka tinggal di Madinah lakukanlah." Tapi simaklah jawaban bijak yang diberikan laki-laki agung itu, "Jika seorang Nabi telah memakai baju besinya, tidak pantas baginya untuk menanggalkannya kembali hingga Allah memberi keputusan untuk dirinya dan musuhnya!"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bukan manusia pengecut, bukan seorang pemimpin yang plin-plan. Beliau telah memberikan teladan yang indah tentang bagaimana cara menghargai dan melaksanakan hasil musyawarah. Sebelumnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam telah bermimpi bahwa ia melihat pedangnya retak, juga tentang lembu yang disembelih, dan mimpi memasukkan tangannya dalam baju besi yang kokoh. Mimpi itu ditakwilkan sebuah kekalahan. Kematian dari para sahabat dan anggota keluarganya. Beliau telah mendapatkan isyarat hasil akhir peperangan bahkan sebelum peperangan akidah dimulai! Yakni kekalahan!
Namun, apa yang beliau lakukan patut kita renungkan. Sebuah pelajaran berharga dari beliau bahwa keputusan dari musyawarah adalah keputusan final yang harus dilaksanakan. Tak ada lagi keragu-raguan dan sikap plin-plan. Beliau mendidik para kadernya untuk menghargai keputusan jamaah. Bagaimanapun, syuro adalah sebuah jalan terbaik untuk menghasilkan sebuah keputusan yang berkualitas. Di dalamnya telah mengakomodir semua kepentingan, semua idealisme, semua pertimbangan. Musyawarah adalah sebuah proses ijtihad jama'ai yang-sekali lagi- akan menghasilkan keputusan yang berkualitas. Terlepas apakah keputusan itu nantinya akan menghasilkan "kemenangan" atau "kekalahan" itu adalah urusan Allah! Yang jelas, dalam berjamaah, keputusan syuro wajib ditaati, tidak hanya oleh jundi tapi juga pada tataran qiyadah. Baik suka atau tidak suka. Dengan suka rela atau terpaksa.
Jika hasil musyawarah dikhianati
Masih tentang perang Uhud. Dalam perjalanan menuju bukit Uhud, Abdullah bin Ubay bin Salul, salah seorang gembong munafik, mengkhianati keputusan musyawarah dengan memprovokasi 300 pasukan untuk pulang ke Madinah. Ia melanggar keputusan syuro dengan alasan yang dibuat-buat, padahal sejatinya ia sangat berat untuk berperang. Alhasil, kemudian hanya 700 pasukan muslim yang tersisa untuk melanjutkan perjalanan.
Ikhwati Fillah! Tidak pantas sebuah keputusan yang telah disepakati dalam musyawarah ditentang atau bahkan dikhianati oleh segelintir orang atau seorang yang menyatakan dirinya berada dalam barisan jamaah! Jika itu sampai terjadi, maka itulah pengkhianatan! Sebuah pengkhianatan besar tehadap jamaah! Tidak peduli apakah yang menentang itu pada tataran jundi atau pada tataran qiyadah. Sungguh kita tidak tahu bagaimana murka Allah jika sampai hal itu terjadi.
Dalil Syar'i Tentang Kewajiban Bermusyawarah
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah"( QS. Ali Imran: 159)
Bertawakkallah kepada Allah! Sungguh indah perintah Allah tentang bagaimana menyikapi hasil akhir dari musyawarah. Bagaimana menjaga simpul-simpul yang tercipta dari wajah-wajah yang berbeda. Dalam ayat lain Allah berfirman: "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan cara musyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka" (QS. A-Syura: 38)
Berbahagialah bagi ahlul syuro yang selalu ikhlas menerima setiap keputusan, tanpa sebuah upaya pengkhianatan, komentar untuk menggagalkan, atau bahkan mencari alasan untuk menggagalkan. Naudzubillah!
Sungguh banyak hikmah yang hendak Allah sampaikan pada kita tentang perintah syuro. Syaikh Mustafa Masyur dalam bukunya Al-Qiyadah Wal Jundiah menyebutkan bahwa salah satu fungsi musyawarah adalah menjaga ikatan dan kebersamaan, kerja sama dan tolong menolong dalam memikul tanggung jawab.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam, manusia yang ma'shum itu telah memberi contoh yang menakjubkan pada kita tentang pentingnya menghargai pendapat. Seperti dalam kisah perang uhud di atas. Tidak hanya itu, beliau juga bersabda, "Tidaklah rugi orang yang bermusyawarah dan tidaklah sesat orang yang menimbang-nimbang. Dan sesuatu yang dimusyawarahkan itu terpercaya."
Namun terkadang dalil-dalil ini banyak tidak dihiraukan termasuk oleh para pemimpin organisasi dan gerakan. Fathi Yakan dalam bukunya Robohnya Dakwah di tangan Da'i menganalisa bahwa dominasi pemimpin yang cukup merasa puas dengan pendapatnya sendiri, tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain, telah menjadi salah satu fenomena besar yang menjadi faktor penting robeknya tatanan organisasi dan gerakan. Maka, jalan syuro hanya menjadi tradisi yang kemudian bisa diplintir jika tidak sesuai dengan keinginan sang pemimpin. Naudzubillah.
"Apabila engkau melihat kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan dan kekaguman seseorang dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah engkau berpegang pada dirimu sendiri." (HR. Tirmidzi)
Mengetahui hal itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengadakan musyawarah bersama para sahabatnya. Musyawarah memutuskan bahwa kaum muslimin harus keluar dari Madinah dan menghadapi musuh di balik bukit Uhud. Meski Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam lebih sepakat bahwa sebaiknya kaum muslimin tetap berjaga di Madinah, namun beliau segera mengenakan baju besinya.
Kemudian beberapa orang mulai berubah pikiran dan berkata,"Wahai Rasulullah, jika Anda lebih suka tinggal di Madinah lakukanlah." Tapi simaklah jawaban bijak yang diberikan laki-laki agung itu, "Jika seorang Nabi telah memakai baju besinya, tidak pantas baginya untuk menanggalkannya kembali hingga Allah memberi keputusan untuk dirinya dan musuhnya!"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bukan manusia pengecut, bukan seorang pemimpin yang plin-plan. Beliau telah memberikan teladan yang indah tentang bagaimana cara menghargai dan melaksanakan hasil musyawarah. Sebelumnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam telah bermimpi bahwa ia melihat pedangnya retak, juga tentang lembu yang disembelih, dan mimpi memasukkan tangannya dalam baju besi yang kokoh. Mimpi itu ditakwilkan sebuah kekalahan. Kematian dari para sahabat dan anggota keluarganya. Beliau telah mendapatkan isyarat hasil akhir peperangan bahkan sebelum peperangan akidah dimulai! Yakni kekalahan!
Namun, apa yang beliau lakukan patut kita renungkan. Sebuah pelajaran berharga dari beliau bahwa keputusan dari musyawarah adalah keputusan final yang harus dilaksanakan. Tak ada lagi keragu-raguan dan sikap plin-plan. Beliau mendidik para kadernya untuk menghargai keputusan jamaah. Bagaimanapun, syuro adalah sebuah jalan terbaik untuk menghasilkan sebuah keputusan yang berkualitas. Di dalamnya telah mengakomodir semua kepentingan, semua idealisme, semua pertimbangan. Musyawarah adalah sebuah proses ijtihad jama'ai yang-sekali lagi- akan menghasilkan keputusan yang berkualitas. Terlepas apakah keputusan itu nantinya akan menghasilkan "kemenangan" atau "kekalahan" itu adalah urusan Allah! Yang jelas, dalam berjamaah, keputusan syuro wajib ditaati, tidak hanya oleh jundi tapi juga pada tataran qiyadah. Baik suka atau tidak suka. Dengan suka rela atau terpaksa.
Jika hasil musyawarah dikhianati
Masih tentang perang Uhud. Dalam perjalanan menuju bukit Uhud, Abdullah bin Ubay bin Salul, salah seorang gembong munafik, mengkhianati keputusan musyawarah dengan memprovokasi 300 pasukan untuk pulang ke Madinah. Ia melanggar keputusan syuro dengan alasan yang dibuat-buat, padahal sejatinya ia sangat berat untuk berperang. Alhasil, kemudian hanya 700 pasukan muslim yang tersisa untuk melanjutkan perjalanan.
Ikhwati Fillah! Tidak pantas sebuah keputusan yang telah disepakati dalam musyawarah ditentang atau bahkan dikhianati oleh segelintir orang atau seorang yang menyatakan dirinya berada dalam barisan jamaah! Jika itu sampai terjadi, maka itulah pengkhianatan! Sebuah pengkhianatan besar tehadap jamaah! Tidak peduli apakah yang menentang itu pada tataran jundi atau pada tataran qiyadah. Sungguh kita tidak tahu bagaimana murka Allah jika sampai hal itu terjadi.
Dalil Syar'i Tentang Kewajiban Bermusyawarah
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah"( QS. Ali Imran: 159)
Bertawakkallah kepada Allah! Sungguh indah perintah Allah tentang bagaimana menyikapi hasil akhir dari musyawarah. Bagaimana menjaga simpul-simpul yang tercipta dari wajah-wajah yang berbeda. Dalam ayat lain Allah berfirman: "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan cara musyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka" (QS. A-Syura: 38)
Berbahagialah bagi ahlul syuro yang selalu ikhlas menerima setiap keputusan, tanpa sebuah upaya pengkhianatan, komentar untuk menggagalkan, atau bahkan mencari alasan untuk menggagalkan. Naudzubillah!
Sungguh banyak hikmah yang hendak Allah sampaikan pada kita tentang perintah syuro. Syaikh Mustafa Masyur dalam bukunya Al-Qiyadah Wal Jundiah menyebutkan bahwa salah satu fungsi musyawarah adalah menjaga ikatan dan kebersamaan, kerja sama dan tolong menolong dalam memikul tanggung jawab.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam, manusia yang ma'shum itu telah memberi contoh yang menakjubkan pada kita tentang pentingnya menghargai pendapat. Seperti dalam kisah perang uhud di atas. Tidak hanya itu, beliau juga bersabda, "Tidaklah rugi orang yang bermusyawarah dan tidaklah sesat orang yang menimbang-nimbang. Dan sesuatu yang dimusyawarahkan itu terpercaya."
Namun terkadang dalil-dalil ini banyak tidak dihiraukan termasuk oleh para pemimpin organisasi dan gerakan. Fathi Yakan dalam bukunya Robohnya Dakwah di tangan Da'i menganalisa bahwa dominasi pemimpin yang cukup merasa puas dengan pendapatnya sendiri, tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain, telah menjadi salah satu fenomena besar yang menjadi faktor penting robeknya tatanan organisasi dan gerakan. Maka, jalan syuro hanya menjadi tradisi yang kemudian bisa diplintir jika tidak sesuai dengan keinginan sang pemimpin. Naudzubillah.
"Apabila engkau melihat kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan dan kekaguman seseorang dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah engkau berpegang pada dirimu sendiri." (HR. Tirmidzi)
Penulis: Rafif Amir
Editor: Rafif Amir
Cancel