Macron, Prancis, dan Cinta Kita pada Rasulullah -->

Silakan ketik kata kunci

Recent Posts

Macron, Prancis, dan Cinta Kita pada Rasulullah

 

"Dalam sejarah republik, baru kali ini ada presiden yang mengecam keras terhadap penista Rasulullah." Kurang lebih begitu yang disampaikan Tenaga Ahli Utama KSP, Ali Mochtar Ngabalin, dalam sebuah dialog yang disiarkan TV swasta. Penyataan tersebut diulang-ulang seolah menandakan penyataan itu sesuatu yang sangat penting.

Saya yang mendengarkan “gagal paham”, apakah tugas utama tenaga ahli KSP adalah menyanjung puji presiden dalam segala kondisi?

Jika Presiden Jokowi mengecam ulah Macron yang menghina Rasulullah SAW, itu memang seharusnya. Wajib hukumnya. Ia sebagai pribadi muslim yang harus meletakkan cintanya yang tertinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, juga sebagai kepala negara yang memimpin lebih dari 200 juta umat Islam—negeri dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia.

Jadi memang sudah sewajarnya presiden memberikan kecaman kepada Macron dan Prancis. Tak perlu dibesar-besarkan bahwa itu baru pertama kali terjadi. Tak perlu dipolitisasi. Jangan pula dijadikan kesempatan untuk merangkul umat yang marah karena persoalan UU Ciptaker yang tak kunjung selesai.

Buktikan keseriusan dan ketulusan pernyataan dan kecaman itu lewat aksi nyata. Sebagaimana dikatakan Babe Haikal Hasan: boikot produk Prancis. Jika pemerintah bisa turut campur dalam aksi boikot ini, maka ini akan menjadi terobosan yang sangat baik dan layak diapresiasi. Langkah berikutnya, tarik duta besar di Prancis untuk pulang ke Indonesia. Lalu usir duta besar Prancis di Indonesia ke negaranya. Baru ini langkah yang tegas dan jelas keberpihakannya.

Tapi rupanya tantangan itu dianggap angin lalu oleh Ngabalin. Bahkan ia mengatakan seruan boikot sebaiknya dihentikan. Ia menganggap bahwa boikot produk Prancis hanya akan membuat ekonomi terganggu.

Setiap keputusan pasti mengandung risiko. Dan bukankah selayaknya, demi cinta dan pembelaan kita kepada Rasulullah, risiko apapun harus kita hadapi? Abu Bakar dihajar sampai babak belur oleh kafir Quraisy karena membela Rasulullah. Umar bin Khattab naik ke atas bukit dan menantang siapapun yang menghalang-halangi Rasulullah dan kaum muslimin hijrah ke Madinah. Kehormatan Rasulullah adalah yang utama, melebihi pembelaan kita pada kehormatan diri dan keluarga. Sebab dialah yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah kepada kita, yang menunjukkan jalan pada dua kebahagiaan: kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Menghukum Macron dan Prancis dengan hukuman ekonomi dan politik akan menjadi pukulan telak bagi mereka. Sudah saatnya negeri dengan umat Islam terbesar ini bersuara, menunjukkan taringnya di hadapan dunia—termasuk di hadapan Prancis. Seperti kata Babe Haikan Hasan, keputusan yang diambil oleh Indonesia akan sangat strategis dan insyaallah akan diikuti oleh negara-negara lainnya. Indonesia harus memimpin "perlawanan" terhadap kepongahan Macron dan Prancis.

Tantangan itu sekaligus akan menjadi bukti bahwa Presiden Jokowi sudah "berubah". Jika tantangan itu benar-benar dilakukan secara serius, maka mungkin kita bisa melupakan apa yang terjadi beberapa tahun silam, saat ia mengabaikan jutaan demonstran yang menuntut keadilan karena penistaan agama yang dilakukan Ahok—yang kemudian aksi itu dikenal dengan Aksi Bela Islam 212. Jika tidak, jangan salahkan umat, jika menganggap pidato kecaman presiden pada Macron hanyalah pemanis bibir belaka.

Betapa kita—220 juta umat Islam Indonesia—akan merasa malu, memiliki pemimpin yang tak punya keberanian untuk menyuarakan kecintaan rakyatnya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Cinta yang tak akan pernah tergantikan oleh apapun. Rasulullah telah mengorbankan jiwanya agar risalah sampai pada kita, hingga dengan bahu terguncang bermunajat pada Allah dalam peperangan Badar, "Jika kami kalah, tak akan ada lagi yang menyembah-Mu di muka bumi." Rasulullah ingin agar kita yang hidup beribu-ribu tahun setelahnya, menikmati sejuknya risalah Islam, meski jiwanya harus beliau pertaruhkan. Meski berkali-kali beliau harus menahan lapar karena embargo dan karena semua yang beliau miliki telah diinfakkan di jalan Allah.

Lalu mengapa umatnya, yang mengaku mencintainya, tak mau berkorban untuk membela kehormatan Rasulullah yang dilecehkan? Bagaimana mungkin umat yang bercita-cita bersanding dengan beliau di surga, tak melakukan apa-apa sebagai bukti cinta? Padahal kata Rasulullah, seseorang akan bersama dengan yang dicintainya di surga. Benarkah kita telah mencintai dengan sungguh-sungguh khataman nabiyyin, Muhammad Rasulullah SAW? Ataukah cinta itu hanya palsu belaka, termasuk shalawat yang kita baca berkali-kali setiap hari di dalam dan di luar shalat?

Salah satu bukti cinta adalah berjuang dan berkorban untuk orang yang dicintainya. Jika Presiden Jokowi tak mau membuktikan cintanya, karena takut pada dampak ekonomi dan politik, maka biarlah kita yang akan lantang bersuara dengan segenap kemampuan yang kita miliki, untuk menentang Macron, Prancis, dan segala kebusukan mereka!

Agar kelak di akhirat, saat berjumpa dengan Rasulullah SAW, kita tidak malu, karena tidak berbuat apa-apa saat manusia yang kita muliakan itu dicaci dan dihina.

Penulis: Rafif Amir 
Editor: Rafif Amir 
Join Telegram @rafifamir @rafif_amir
Cancel