Itulah FPI. Front Pembela Islam. Berdasarkan SK tiga menteri, Jaksa Agung, Kepolisian, dan BNPT, FPI resmi dilarang sejak Rabu, 30 Desember 2020. Semua kegiatan yang mengatasnamakan FPI harus dihentikan. Penggunaan simbolnya pun terlarang.
Dalam surat keputusan bersama tersebut, salah satu alasan pembubaran FPI karena anggotanya terlibat dalam tindakan terorisme dan mengganggu ketertiban umum. Alasan lain, karena FPI tidak memperpanjang SKT sejak 21 Juni 2019.
Ini adalah yang kedua kali rezim Jokowi membubarkan ormas Islam, setelah sebelumnya, pada 19 Juli 2017, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Berbagai respon pro dan kontra mengalir dari masyarakat. Ada yang menyambutnya dengan gembira, namun tak sedikit yang menyebut pembubaran FPI sebagai bentuk kemunduran demokrasi. Lebih jauh lagi, kezaliman terhadap umat Islam.
Bagaimana pun, jasa FPI bagi negara dan bangsa sangat besar. FPI salah satu yang terdepan hadir dalam setiap bencana yang melanda negeri ini. Mereka melakukan evakuasi secara sukarela bersama Tim SAR dan TNI. FPI yang berkali-kali hadir mengingatkan masyarakat terhadap berbagai tindakan maksiat dan amoral--yang bisa jadi sumber malapetaka bagi dirinya dan bangsa ini.
Namun pemerintah melupakan itu semua. Pemerintah menganggap FPI sebagai musuh yang harus dihabisi. Hanya karena sering mengkritik kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, utamanya umat Islam. Hanya karena pemimpin FPI begitu dihormati, melebihi penghormatan rakyat pada presiden, hanya karena pemimpin FPI berhasil mempersatukan umat memperjuangkan kebenaran.
Permusuhan pemerintah benar-benar sangat kentara. Bahkan tak cukup pemimpinnya dipenjara dan ormasnya dibubarkan, aset-asetnya mulai "dijarah" pelan-pelan. Salah satunya, markas syariah FPI di Megamendung, Bogor.
Ada apa di balik ini semua?
Sejarah lalu mengingatkan kita pada pembubaran Partai Masyumi, 17 Agustus 1960. Soekarno berdalih, beberapa tokoh Masyumi terlibat dalam PRRI--yang oleh dia disebut sebagai pemberontakan. Namun, sesungguhnya pembubaran Masyumi bukan ide yang datang tiba-tiba. Desakan dari Aidit dan tokoh-tokoh PKI agar Masyumi dibubarkan sudah berembus sejak lama. Sebagaimana diketahui, dalam pertarungan politik dan ideologi, Masyumi adalah musuh bebuyutan PKI. Bubarnya Masyumi adalah kemenangan buat PKI.
Setelah Masyumi bubar, PKI mengincar satu target lagi: HMI. Di depan kader-kadernya, DN. Aidit berkata, "Kalau kalian tak bisa bubarkan HMI, maka lebih baik kalian pulang saja, tukar pakaian dan kenakan sarung."
Lobi-lobi politik dilakukan terhadap Soekarno agar HMI segera dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Hampir saja Soekarno membuat keputusan, andai tak ada KH Saifuddin Zuhri yang menentang keras niat itu. Kepada Bung Karno, KH Saifuddin Zuhri mengatakan, "Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan Bapak, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini!"
Kisah tersebut ditulis oleh Ketua Umum HMI saat itu, Sulastomo, dalam bukunya "Di Balik Tragedi 1965".
Benarkah sejarah terulang? Mereka yang kritis dianggap sebagai pemberontak, partai atau ormasnya terancam dibubarkan. Kalau dulu ada PKI yang bermain dalam api, kalau sekarang siapa? Benarkah ini murni kebijakan pemerintah? Siapakah yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?
Dalam politik, apa yang ada di balik layar kadang jauh lebih mengerikan daripada apa yang tampak di permukaan.
Sidoarjo, 30 Desember 2020
Penulis: Rafif Amir
Editor: Rafif Amir
Cancel