Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Bila dirunut dari zaman kerajaan sampai pada titik kulminasi kemerdekaan Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa Islam memiliki peran yang sangat penting. Meski demikian, ada anggapan yang berpendapat bahwa Islam hanya seperti pelitur yang kalau dibersihkan akan tampak warna aslinya. Warna asli itu bukanlah Islam, melainkan jejak peninggalan Hindu-Budha. Pendapat semacam ini dilontarkan oleh Van Leur. Sekali pun ia setuju dengan Arnold dan Crawfurd tentang asal-usul Islam dari tanah Arab, namun baginya Islam tidak membawa perubahan asasi dan tidak pula membawa peradaban yang lebih luhur dibandingkan dengan peradaban yang ada sebelumnya, yaitu peradaban Hindu dan Budha.
Oleh karena itu, penting bagi generasi Islam masa kini untuk mempelajarari sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Agar para pemuda Islam memiliki pengetahuan yang kuat untuk dijadikan pijakan. Pijakan yang kokoh agar tidak rentan didistorsi atau dibelokkan pemahamannya tentang asal-usul Islam. Jangan sampai kita mudah digiring pada keyakinan bahwa Islam disebarkan dengan penuh kekerasan dan peperangan. Atau Islam disebarkan dalam ketidakmurnian.
Awal Islam Masuk ke Indonesia
Banyak teori mengenai kapan dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Azyumardi Azra dalam Renaisans Islam Asia Tenggara mencatat setidaknya ada tiga teori. Pertama, teori Arab yang menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab, tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan antara lain Crawfud (1826), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878); juga dipopulerkan oleh Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” tahun 1962. Dalam teori ini, selain disangkal mengenai masuknya Islam via India yang dipopulerkan oleh Snuock Hurgronje, juga ditemukan bahwa Islam telah masuk sejak abad ke-7 Masehi.
Teori kedua mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara melalui India. Teori ini pertama kali dilontarkan oleh Pijnapel (1872). Berdasarkan catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia menyimpulkan bahwa yang membawa Islam ke Nusantara adalah para pedagang Arab bermazhab Syafi‘i yang berasal dari Gujarat dan Malabar di India. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje dan Morrison (1951). Hanya saja, Hurgronje tidak menyebut yang datang membawa ajaran Islam ini pedagang-pedagang turunan Arab. Ia jutsru menyebut pembawanya adalah orang-orang India (Gujarat).
Teori ketiga adalah teori Bengali yang dikembangkan oleh Fatimi yang mengutip keterangan Tome Pires. Dalam catatan Pires, kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Bengali (kini Bangladesh) atau turunan mereka. Dan, Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah Pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11 melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu.
Teori keempat sering disebut teori Persia. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Persia (Iran) dan bermazhab syi’ah. Dasar teori ini adalah adanya kesamaan budaya Persia dengan beberapa budaya masyarakat Islam Indonesia, seperti peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang syiah. Di Sumatera Barat peringatan itu disebut dengan upacara Tabuik (Tabut), sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur syura. Kesamaan ajaran sufi yang dianut Syaikh Siti Jenar dengan sufi dari Persia, yaitu Al-Hallaj. Penggunaan bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Alquran untuk tanda-tanda bunyi harakat, terutama di Jawa Barat. Arab mengeja dengan fathah, kasrah dan dhammah, sedangkan Persia menyebutnya jabar, je-er dan py-es. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang meninggal pada 1419. Menurut para sejarawan, ulama ini berasal dari Persia. Adanya perkampungan Leran di Giri daerah Gresik. Leran adalah nama salah satu suku di Persia.
Teori terakhir adalah teori China. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Cina. Pendukung teori ini di antaranya adalah Slamet Mulyana. Menurutnya, Sultan Demak dan para Wali Sanga adalah keturunan Cina. Pendapat ini bertolak dari Kronik Klenteng Sam Po Kong yang menyebutkan nama-nama Wali Sanga dengan nama Cina. Namun, teori ini sangat lemah. Menurut budaya Cina, dalam penulisan sejarah nama tempat yang bukan Cina dan nama orang yang bukan Cina, juga dicinakan penulisannya. Selain itu, Islam sudah masuk dan menyebar di Indonesia sebelum masa Wali Sanga.
Mengenai siapa yang membawanya ke Nusantara juga banyak versi. Ada yang mengatakan para pedagang, para pendakwah Islam, dan para sufi. Prosesnya pun beragam: melalui hubungan dagang, perkawinan, atau misi khusus dari para pendakwah Islam dan kalangan sufi. Mengenai ini akan dijelaskan lebih panjang pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini.
Banyaknya versi mengenai masuknya Islam ke Indonesia dan siapa yang membawanya sebetulnya bisa dilihat sebagai bukan sebagai saling bertentangan dan menegasikan. Ini bisa dipandang sebagai isyarat bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia tidak satu waktu, satu bentuk, dan satu sebab. Sebagaimana jamaknya proses sejarah yang tidak selalu memiliki sebab monolitik, demikian pula dengan proses masuknya Islam ke Indonesia. Yang terpenting, seluruh teori yang dikemukakan oleh para sejarawan menunjukkan bahwa Indonesia telah berinteraksi dengan Islam semenjak masa awal-awal Islam. Paling jauh, berdasarkan teori Arab, Indonesia telah berhubungan dengan pusat-pusat Islam sejak abad ke-7 (13 Abad yang lalu) dalam berbagai bentuknya: perdagangan, transmisi ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Kemudian Islam berkembang pesat pada sejak abad ke-13 dan seterusnya. Hal ini antara lain dibuktikan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang Pnatai Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Dengan begitu terlihat bahwa Islam di Indonesia sesungguhnya memiliki peran yang sangat menentukan dalam pembentukan sejarah Indonesia. Menegasikan Islam dalam sejarah Indonesia adalah sebuah kebohongan sejarah yang besar. Ini juga sekaligus menepis mitos yang dipopulerkan Muhammad Yamin bahwa Indonesia ini terbentuk oleh Sumpah Palapa Gajah Mada pada zaman Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk. Mitos ini seolah ingin menegaskan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah Hindu-Budha, bukan sejarah Islam, sehingga tidak perlu memerhitungkan Islam sebagai pembentuk sejarah Indonesia.
Berkah Kemerdekaan dan Dakwah Islam
Seandainya kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan para santri, ulama, dan umat Islam sejak awal kolonialisme tentu tidak akan ada jejak-jejak Islam yang nyata dalam proses pendirian negara ini. Sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan Piagam Jakarta 22 Juli 1945 yang sangat terkenal. Inilah nanti yang menjadi cikal-bakal dasar negara Indonesia: Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak gagasan dari para pejuang Islam hingga lahir Tujuh Kata yang dibuang: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila. Walaupun pada 18 Agustus 1945 Sila ini berubah, namun semangatnya masih sangat jelas tersisa dalam kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ki Bagus Hadikusumo yang menandatangi perubahan itu memastikan bahwa kata-kata itu maknanya adalah “tauhid”. Sekalipun tidak berkonsekwensi hukum karena tidak tertuliskan sebagai ayat di dalam undang-undang, namun siapapun tidak bisa menyangkal kenyataan sejarah ini. (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI], 2005).
Kekuatan dan andil umat Islam dalam kemerdekaan ini juga terlihat saat dengan begitu percaya diri partai-partai Islam, antara lain: Masyumi, NU, SI, Perti, dan politisi muslim independen lainnya, mengajukan proposal tentang Islam sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang-sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959. Politik pada akhirnya bukan selalu soal kebenaran, tapi masalah permainan belaka. Oleh sebab itu, kekalahan politiklah yang akhirnya harus mengubur harapan para pejuang Islam menjadikan negara baru ini berada di bawah naungan Islam. Bahkan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, usaha-usaha menyingkirkan para pejuang Islam dari jalur politik begitu terasa. Berbagai intrik dan fitnah terus dilancarkan kepada gerakan-gerakan Islam agar semakin jauh dari kekuasaan. Isu-isu seperti pemberontakan DI/TII tahun 60-an, Komando Jihad tahun 70-an, Ekstrem Kanan tahun 80-an, hingga isu terorisme tahun 2000-an terus dikerek media-media anti-Islam untuk menjadi alasan shahih menyingkirkan Islam dari panggung kekuasaan.
Akan tetapi, dalam situasi yang tersudut seperti itu bukan berarti umat Islam kehilangan kreativitas dan vitalitas untuk tetap memperjuangkan agama yang diyakini akan membawa kamaslahatan di dunia dan akhirat. Walaupun secara politik umat Islam secara sengaja dipinggirkan, justru ini semacam takdir Allah SWT mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa ada tugas yang lebih penting dan harus terlebih dahulu dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk kekuasaan, yaitu dakwah. Selama hampir setengah abad, umat Islam memang agak mengabaikan inovasi dalam dakwah. Hampir semua tersedot perhatiannya pada perkara-perkara politik. Menjelang kemerdekaan hampir setiap pemimpin Islam disibukkan memikirkan bagaimana cara Indonesia terbebas dari penguasa kafir Belanda. Ini jihad nyata yang ada di hadapan mereka. Selepas itu, hampir semua disibukkan mempersiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur Islam. Inipun sesungguhnya bagian dari dakwah. Hanya saja, konsentrasinya terlalu banyak kepada kekuasaan. Banyak garapan dakwah lain yang diabaikan, terutama dalam bidang kaderisasi umat dan pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan Islam.
Depolitisasi oleh para penguasa terhadap para politisi Islam akhirnya membuahkan hasil cukup menggemberikan. Setelah Masyumi dibubarkan, didirikanlah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dalam berbagai kesempatan M. Natsir sering mengatakan, “Dulu kita berpolitik untuk dakwah, sekarang kita berdakwah untuk politik.” Slogan ini pun rupanya diamalkan oleh banyak aktivis politik lainnya yang digusur dari kekuasaan. Mereka akhirnya kembali terjun ke dunia dakwah. Perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan di mana-mana. Perduruan tinggi sekuler dijadikan lahan dakwah baru menjadi kader-kader calon pemimpin melalui gerakan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Pesantren-pesantren diperbaiki manajemen dan performanya untuk menyaingi lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan sekuler. Masjid-masjid terus disasar untuk dihidupkan. Lembaga-lembaga dakwah pun berdiri di mana-mana, bahkan sampai menjangkau pelosok-pelosok negeri.
Hasilnya cukup menggembirakan. Akhir tahun 1980-an umat Islam Indonesia mengalami “kebangkitan” baru setelah pada awal abad ke-20 memelopori pergerakan politik untuk bangkit memerdekakan Indonesia. Kali ini prestasi dakwah Islam telah sampai pada taraf yang belum pernah dicapai selama dua abad sebelumnya. Gelombang Islamisasi menjangkau sampai ke berbagai elemen umat. Kaderisasi umat yang mulai digarap pada era 1960-an mulai berbuah dengan lahirnya generasi-generasi intelektual muslim baru. Puncaknya, para cendekiawan muslim berkumpul dan menampilkan kekuatan mereka dengan didirikannya Ikatan Cendeiawan Muslim Indonesia (ICMI). Penggunaan jilbab bagi muslimah yang sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat secara bebas digunakan akibat desakan dari intelektual-intelektual muslim baru ini. Intelektual muslim baru ini pun tersebar dalam berbagai keahlian hingga umat Islam kini memiliki banyak ahli yang masuk ke hampir semua sektor kehidupan, baik formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai tampil bukan lagi sebagai lembaga pendidikan kacangan, melainkan menjadi lembaga favorit dan unggulan. Media massa yang sebelumnya tidak terlalu percaya diri untuk mengangkat simbol-simbol Islam, kini sudah bukan barang aneh Islam dalam berbagai aspeknya yang positif menjadi pokok perbicangan di media massa. (Selengkapnya lihat Ricklefs, Islamisasi Jawa, 2014).
Oleh sebab itu, secara performa, sejak tahun 70-an hingga saat ini Islam di Indonesia telah kembali menjadi “agama” mayoritas. Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyi-sembunyi jauh dari ruang publik seperti pada zaman kolonial. Perjuangan para mujahidin Islam untuk membebaskan negeri ini dari penguasa kafir yang sangat menindas, baik secara politik, ekonomi, dan terutama keyakinan, buahnya sudah mulai dirasakan saat ini. Walaupun ada yang pesimis melihat politik Indonesia yang hingga saat ini masih belum memberi peluang kepada gerakan-gerakan Islam untuk berkuasa sepenuhnya dalam bidang politik, namun sesungguhnya perkara itu hanya tinggal menunggu waktu. Kecerdikan dan kegigihan para pejuang Islam setelah kemerdekaan untuk kembali kepada dakwah, justru membukakan peluang besar semua bidang di negeri ini akan dapat dikendalikan umat Islam. Sebab, dakwah ini memang prasyarat mutlak sebelum umat Islam berkuasa. “Politik kita tergantung pada dakwah kita,” demikian ungkap Pak Natsir lagi dalam satu tulisannya. Ini tentu patut disyukuri, dipertahankan, dan terus ditingkatkan intensitasnya. Ini adalah salah satu berkah dari kemerdekaan yang diperjuangkan para ulama dan mujahidin Islam terdahulu.
Penulis: Pristiwati Menangsih SabatEditor: Rafif Amir
Cancel