Berpikir
bukanlah aktivitas yang berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan faktor-faktor
lain yang saling mempengaruhi. Dalam berpikir, seseorang memulai dengan
memikirkan sesuatu yang sederhana. Sehingga akhirnya terbentuk pola pikir / Fikrah
tertentu.
Pola pikir atau
fikrah ini dipengaruhi oleh akidah, ideologi, hati nurani, keinginan, kecenderungan,
hawa nafsu, lingkungan, dan lain sebagainya. Pemikiran selain dapat dibentuk
oleh faktor lain, juga sebaliknya dapat pula membentuk atau mempengaruhi
kehidupan.
Faktanya
terdapat dua jenis fikrah; yakni fikrah yang tidak memberi manfaat bagi diri
dan lingkungannya, biasa kita sebut fikrah jahiliah dan fikrah positif yang
membawa manfaat bagi diri, lingkungan, dan kehidupan secara umum, bisa kita
sebut sebagai fikrah islamiah.
Pemikiran yang
dilandasi akidah jahiliah, ideologi ateisme, materialisme, dan hawa nafsu hanya
melahirkan konsep atau sistem yang sifatnya dangkal, spekulasi dan menyesatkan,
seperti Sigmund freud, dengan teori libidonya, Machiaveli dengan teori
kekuasaannya. Kapitalisme dengan monopoli, marxisme dengan pertentangan kelas
yang akhirnya membuahkan kesengsaraan dan nestapa bagi manusia.
Kondisi umat
yang centang-perenang tidak lepas pula dari interaksi umat dengan islam itu
sendiri. Juga tidak lepas pula dari masalah pemikiran. Oleh karena itu, perhatian
terhadap aspek pemikiran dan pemahaman perlu mendapat perhatian serius dan
proporsional. Selama aspek pemikiran dan pemahaman diabaikan, krisis umat islam
akhir-akhir ini mungkin sulit dilepaskan. Inilah pentingnya aktivitas berpikir
untuk selanjutnya memproduksi pemikiran dan pemahaman yang benar.
Apabila tidak,
maka dominasi pemikiran barat yang bersumber dari falsafah materialisme dan
sekularime akan terus berlanjut. Dominasi pemikiran barat yang hanya
mengandalkan rasio dan materialisme ini menimbulkan krisis pemikiran islam yang
menyerang manhaj /metode, masdar / sumber, dan aspek sejarah asasi umat
islam. Juga dampak buruknya sangat terasa pada mentalitas, intelektualitas, dan
cara berpikir kaum muslimin. Inilah problematika umat yang mendasar sejak tahun
1930-an.
Sebagaimana
pertanyaan ulama indonesia di era 1930-an, Syekh Muhammad Basyuni Imran, seorang
imam kerajaan Sambas, Borneo, kepada yang mulia Amir Syekh Syakib Arsalan, dengan
perantara Syekh Rasyid Ridha, pimpinan majalah Al-Manaar, Mesir. Inti
pertanyaan melalui surat tersebut adalah mengapa kaum muslimin dalam keadaan
lemah dan mundur?
Pertanyaan
tersebut dijawab mendalam dengan sebuah buku, Limadza Ta’akhara Al Muslimuun
wa Taqadama Ghairuhum? (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Selainnya Maju?, 1976).
Salah satu penyebab kemunduran itu adalah adanya problem pemikiran dan
pemahaman umat terhadap islam itu sendiri.
Menurut Syakib
Arsalan, beberapa poin penting sebab kemunduran itu antara lain :
1. Kebodohan
yang tidak dapat membedakan yang haq dan batil.
2. Berpengetahuan
tanggung yang bahayanya lebih besar dari kebodohan itu sendiri.
3. Kebejatan
moral dan kerusakan budi pekerti para tokoh dan pimpinan.
4. Adanya ulama
yang suka mendekatkan diri pada penguasa yang suka hidup mewah dan
bersenang-senang.
5. Sifat penakut
dan pengecut, padahal generasi sebelumnya adalah generasi umat yang terkenal
pemberani dan tidak takut mati.
Beberapa hal
lain yang ditambahkan Syakib Arsalan adanya sikap jumud, yang implikasi
kejumudan ini membuka peluang musuh memerangi kemajuan islam, maraknya
kemiskinan, menghambat kemajuan bidang pengetahuan duniawi, tenggelam dan
surutnya referensi islam sejati, membuka peluang lahirnya muslim yang anti
islam, dan upaya menghancurkan islam dengan dalil quran dan hadis melalui fakta
yang diputarbalikkan.
Tambahan lain lagi
tentang kemunduran ini adalah adanya pemisahan aql dan naqal (Thoha Jabir Alwani), lepasnya kendali mental
terhadap akal (Ramdhan Al Buthi), dualisme pendidikan (Al Faruqi M. Wakil), dan
adanya ghazwul fikri.
Posisi kejumudan
ini membuat umat dalam posisi siap dijajah (Malik bin Nabi) atau terpaksa
mengambil konsep-konsep buatan manusia (Ibnul Qoyim).
Serta untuk
kebangkitan umat ini diperlukan kemauan yang keras dan keberanian berkorban,
melakukan proses pembelajaran secara terencana agar mengerti syariat islam,
juga berjuang dengan penuh semangat dan keberanian.
Semua itu bisa
terwujud apabila kaum muslimin memiliki pemahaman yang baik dan mendalam
tentang islam, memiliki pemikiran yang bersih dan brilliant; tersatukannya
akal dan naqal, terbimbing oleh akidah dan akhlakul karimah, dan konsistensi
ulama sebagai warosatul anbiya.
Jadi
kegiatan berpikir, pemikiran dan pemahaman adalah sesuatu yang penting dan
mendasar bagi kemajuan diri, umat, dan bangsa.
Editor: Fie R
Cancel