Berpikir, Pemikiran, dan Pemahaman, Mengapa Penting? -->

Silakan ketik kata kunci

Recent Posts

Berpikir, Pemikiran, dan Pemahaman, Mengapa Penting?


Oleh Taufik Abdul Majid

Berpikir bukanlah aktivitas yang berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan faktor-faktor lain yang saling mempengaruhi. Dalam berpikir, seseorang memulai dengan memikirkan sesuatu yang sederhana. Sehingga akhirnya terbentuk pola pikir / Fikrah tertentu.

Pola pikir atau fikrah ini dipengaruhi oleh akidah, ideologi, hati nurani, keinginan, kecenderungan, hawa nafsu, lingkungan, dan lain sebagainya. Pemikiran selain dapat dibentuk oleh faktor lain, juga sebaliknya dapat pula membentuk atau mempengaruhi kehidupan.

Faktanya terdapat dua jenis fikrah; yakni fikrah yang tidak memberi manfaat bagi diri dan lingkungannya, biasa kita sebut fikrah jahiliah dan fikrah positif yang membawa manfaat bagi diri, lingkungan, dan kehidupan secara umum, bisa kita sebut sebagai fikrah islamiah.

Pemikiran yang dilandasi akidah jahiliah, ideologi ateisme, materialisme, dan hawa nafsu hanya melahirkan konsep atau sistem yang sifatnya dangkal, spekulasi dan menyesatkan, seperti Sigmund freud, dengan teori libidonya, Machiaveli dengan teori kekuasaannya. Kapitalisme dengan monopoli, marxisme dengan pertentangan kelas yang akhirnya membuahkan kesengsaraan dan nestapa bagi manusia.

Kondisi umat yang centang-perenang tidak lepas pula dari interaksi umat dengan islam itu sendiri. Juga tidak lepas pula dari masalah pemikiran. Oleh karena itu, perhatian terhadap aspek pemikiran dan pemahaman perlu mendapat perhatian serius dan proporsional. Selama aspek pemikiran dan pemahaman diabaikan, krisis umat islam akhir-akhir ini mungkin sulit dilepaskan. Inilah pentingnya aktivitas berpikir untuk selanjutnya memproduksi pemikiran dan pemahaman yang benar.

Apabila tidak, maka dominasi pemikiran barat yang bersumber dari falsafah materialisme dan sekularime akan terus berlanjut. Dominasi pemikiran barat yang hanya mengandalkan rasio dan materialisme ini menimbulkan krisis pemikiran islam yang menyerang manhaj /metode, masdar / sumber, dan aspek sejarah asasi umat islam. Juga dampak buruknya sangat terasa pada mentalitas, intelektualitas, dan cara berpikir kaum muslimin. Inilah problematika umat yang mendasar sejak tahun 1930-an.

Sebagaimana pertanyaan ulama indonesia di era 1930-an, Syekh Muhammad Basyuni Imran, seorang imam kerajaan Sambas, Borneo, kepada yang mulia Amir Syekh Syakib Arsalan, dengan perantara Syekh Rasyid Ridha, pimpinan majalah Al-Manaar, Mesir. Inti pertanyaan melalui surat tersebut adalah mengapa kaum muslimin dalam keadaan lemah dan mundur?

Pertanyaan tersebut dijawab mendalam dengan sebuah buku, Limadza Ta’akhara Al Muslimuun wa Taqadama Ghairuhum? (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Selainnya Maju?, 1976). Salah satu penyebab kemunduran itu adalah adanya problem pemikiran dan pemahaman umat terhadap islam itu sendiri.

Menurut Syakib Arsalan, beberapa poin penting sebab kemunduran itu antara lain :

1. Kebodohan yang tidak dapat membedakan yang haq dan batil.
2. Berpengetahuan tanggung yang bahayanya lebih besar dari kebodohan itu sendiri.
3. Kebejatan moral dan kerusakan budi pekerti para tokoh dan pimpinan.
4. Adanya ulama yang suka mendekatkan diri pada penguasa yang suka hidup mewah dan bersenang-senang.
5. Sifat penakut dan pengecut, padahal generasi sebelumnya adalah generasi umat yang terkenal pemberani dan tidak takut mati.

Beberapa hal lain yang ditambahkan Syakib Arsalan adanya sikap jumud, yang implikasi kejumudan ini membuka peluang musuh memerangi kemajuan islam, maraknya kemiskinan, menghambat kemajuan bidang pengetahuan duniawi, tenggelam dan surutnya referensi islam sejati, membuka peluang lahirnya muslim yang anti islam, dan upaya menghancurkan islam dengan dalil quran dan hadis melalui fakta yang diputarbalikkan.

Tambahan lain lagi tentang kemunduran ini adalah adanya pemisahan aql dan naqal  (Thoha Jabir Alwani), lepasnya kendali mental terhadap akal (Ramdhan Al Buthi), dualisme pendidikan (Al Faruqi M. Wakil), dan adanya ghazwul fikri.

Posisi kejumudan ini membuat umat dalam posisi siap dijajah (Malik bin Nabi) atau terpaksa mengambil konsep-konsep buatan manusia (Ibnul Qoyim).

Serta untuk kebangkitan umat ini diperlukan kemauan yang keras dan keberanian berkorban, melakukan proses pembelajaran secara terencana agar mengerti syariat islam, juga berjuang dengan penuh semangat dan keberanian.

Semua itu bisa terwujud apabila kaum muslimin memiliki pemahaman yang baik dan mendalam tentang islam, memiliki pemikiran yang bersih dan brilliant; tersatukannya akal dan naqal, terbimbing oleh akidah dan akhlakul karimah, dan konsistensi ulama sebagai warosatul anbiya.

Jadi kegiatan berpikir, pemikiran dan pemahaman adalah sesuatu yang penting dan mendasar bagi kemajuan diri, umat, dan bangsa.

Editor: Fie R
Join Telegram @rafifamir @rafif_amir
Cancel