Berdirinya
negara Tiongkok saat ini tidak lepas dari masyarakatnya yang menginginkan
perubahan. Berbeda dengan tetangganya, Jepang yang membuka diri terhadap dunia
luar. Tiongkok pada masa Dinasti Qing masih kukuh mengisolasi diri dari
pengaruh dunia luar.
Memang, hubungan
dagang dengan Negara-negara Barat masih berjalan, tetapi hanya dalam hal
politik dan kebudayaan. Mereka masih menutup diri dan melarang segala sesuatu
yang berbau Budaya Barat. Puncaknya terjadi pada saat Perang Candu I dan II.
Perang ini terjadi antara Dinasti Qing melawan Inggris beserta sekutunya dengan
akhir kekalahan Dinasti Qing.
Ketika Perang Opium
II dan Perang Delapan Kerajaan (walaupun aslinya Amerika Serikat bukan kerajaan),
Dinasti Qing mengalami kekalahan dan banyak kehilangan kontrol terhadap
wilayah, baik karena berpindah kependudukan ataupun memanfaatkan momentum untuk
merdeka dari kekuasaan Dinasti Qing.
Secara tidak
langsung, kekalahan yang dialami oleh pemerintah Dinasti Qing menyebabkan “Gerakan Separatisme” yang merasa kecewa
dengan Sang Ratu Cixi maupun menginginkan otonomi khusus. Pemberontakan dan
kerusuhan terjadi di berbagai wilayah kekuasaan mereka, baik yang mendukung
maupun menentang pemerintah. Peristiwa yang melibatkan kekerasan dan pembunuhan
semakin sering terlihat saat itu.
Puncak prahara
terjadi ketika para reformis menginginkan reformasi di segala aspek sebagaimana
rival mereka, Jepang yang sukses
menjadi negara besar yang setara dengan negara-negara Barat. Pemberontakan
terjadi di berbagai wilayah, hingga sebagian besar wilayahnya tidak mampu
dikontrol.
Beberapa daerah
yang memilih memisahkan diri dari dinasti Qing antara lain:
1. Turkistan
Timur yang didominasi Muslim Uighur
2. Tibet
yang didominasi Budha Himalaya
3. Henan
yang didominasi Yahudi Kaifeng
4. Tanah
Mongolia luar dan dalam yang didominasi Nomaden Mongol.
Serta masih banyak
daerah lain yang mencoba memisahkan diri. Sedangkan Dinasti Qing melarikan diri ke Manchuria yang berada di
perbatasan Korea¬Rusia.
Ketika Perang Saudara
terjadi, ada dua kekuatan dominan kelak menjadi kunci terbentuknya Republik
Rakyat Tiongkok dan Republik Tiongkok (Taiwan). Keduanya adalah Mao Zedong dan
Chiang Kai Shek yang berperang menyatukan Daratan Tiongkok.
Berebut
Pengaruh Dalam Kekosongan Tiongkok Daratan
Setelah
kekaisaran Qing runtuh karena revolusi dr. Sun dan konflik internal dinasti,
orang-orang yang masih setia kepada Sang Ratu pindah ke daerah yang kita kenal
sebagai daerah Manchuria (perbatasan Korea Utara, Tiongkok, dan Rusia). Dengan
bantuan musuh lama kekaisaran Rusia, Dinasti Qing masih bisa bernapas walaupun
tidak lama, dengan harga yang mahal.
Heishenwei (kini
menjadi Vladivostok) merupakan bayaran yang harus dibayar untuk sebuah keamanan
kepada Rusia. Sebuah pelabuhan yang dekat dengan lautan hangat dan menjadi
pengganti wilayah mereka yang hilang seperti Pulau Shakalin dan Alaska.
Sedangkan Dinasti Qing terpaksa menjadi Negara Boneka.
Lalu bagaimana
dengan kondisi di wilayah Qing lainnya? Dalam kurun waktu 1915¬1928 terjadi
Perang Saudara dari para pemilik tanah. Hubungan antara dr. Sun dari sipil
dengan Jenderal Yuan Shikai meregang, dalam hal siapa yang memimpin.
Saat di dalam
negeri terjadi geger antara militer Yuan Shikai dan parlemen dr Sun, di Manchuria
sendiri juga demikian. Pelindung mereka, kekaisaran Rusia mengalami geger soal
revolusi kaum Komunis.
Beberapa
simpatisan dari kaum Komunis ini juga mulai menyusup ke Daratan Tiongkok untuk
mendapatkan kedaulatan. Jadi di Timur¬Selatan didesak kelompok Nasionalis dan
di Utara¬Barat didesak oleh kelompok Komunis.
Konflik yang
terjadi di Daratan Tiongkok antara pengaruh Nasionalis dengan Komunis semakin
membara. Masing-masing kubu mencari dukungan dari negara-negara yang memiliki
pengaruh yang kuat.
Milisi bentukan
Nasionalis Tiongkok yang menamakan diri Partai Kuo Min Tang bekerja sama dengan
Jerman pasca perjanjian Versailles
dalam hal militer dan industri. Sedangkan Milisi bentukan Komunis Tiongkok yang
menamakan diri Partai Komunis Tiongkok bekerja sama dengan induknya, Uni Soviet
sebagaimana yang dilakukan oleh rivalnya.
Konflik terus
berlanjut dan memuncak ketika dr. Sun meninggal tahun 1925. Perang pengaruh
semakin kentara. Tiongkok mengalami Perang Saudara sampai Jepang masuk ke
Tiongkok Daratan tahun 1932. Jepang memanfaatkan kekeruhan Tiongkok dalam
menguasai wilayah tidak bertuan itu.
Dua kekuatan ini
(Partai Kuomintang dan Partai Komunis Tiongkok) akhirnya bekerja sama untuk
sementara waktu mengusir Jepang di tanah mereka. Meski Kuomintang bekerja sama
dengan sekutunya, Jepang (dalam hal ini adalah Jerman), tetapi mereka tidak
dapat sokongan bantuan yang berarti dan akhirnya mereka (Kuomintang) bekerja sama
dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk mengusir Jepang.
Setelah Jepang
menyatakan kalah pada tahun 1945, dua entitas ini kembali melanjutkan gegernya.
Musuh bersama mereka telah pergi dan Perang Saudara kembali dilanjutkan. Ada
kesalahan fatal yang dilakukan oleh pihak sekutu di mana persenjataan diberikan
kepada pihak milisi Komunis Tiongkok lebih dominan dibandingkan dengan milisi Nasionalis
Tiongkok yang membalik keadaan.
Awalnya pihak Nasionalis
Kuomintang yang dominan di Tiongkok Daratan, menjadi berbalik posisi, belum
lagi bantuan dari Uni Soviet yang merasa tidak puas dengan hasil Perang Dunia
II menjadikan suasana semakin runyam. Milisi Komunis Tiongkok yang berbasis di
Utara mendapatkan suntikan dana dan persenjataan tambahan memukul mundur milisi
Kuomintang dari Daratan Tiongkok pada tahun 1949.
Akhirnya mereka
mengungsi ke Pulau Formosa dahulu merupakan jajahan Jepang dan membangun
pemerintahan darurat di sana. Ratusan ribu tentara dan jutaan masyarakat yang tidak
setuju dengan pemerintah Komunis memilih mengungsi ke tempat ini.
Setelah
Perang Dunia II Usai
Tidak dapat
dipungkiri bahwa peran Tiongkok di Perang Dunia II sangat signifikan dalam
mengacaukan konsentrasi militer Jepang. Jutaan pasukan Jepang ditempatkan di daerah ini lebih besar dibandingkan
koloni lainnya. Sedangkan dalam menahan serangan, pihak sekutu militer Jepang
menggunakan pasukan dari negara jajahan sebagai garda terdepan penjagaan.
Perang Pasifik
yang menguras tenaga dan pikiran ini akhirnya berakhir, kala dua bom atom dari
Amerika Serikat di rumah mereka sendiri dan gempuran Uni Soviet di Negara Boneka
Manchuria yang sukses merebut separuh semenanjung Korea di sisi utara ini
membuat kekaisaran Jepang menyerah. Tidak mungkin bagi Jepang bertahan dari
tiga gempuran sekaligus (Tiongkok, Amerika Serikat, dan Uni Soviet) dan menjadi
tanda berakhirnya Perang Dunia II.
Mungkin Perang
Dunia II telah berakhir, tetapi bagi dua kekuatan entitas ini (Partai
Kuomintang dan Partai Komunis Tiongkok) jadi tanda berlanjutnya perang saudara
Tiongkok yang kedua. Pengganti dr. Sun, Chiang Kai Shek dari Kuomintang
mengklaim dirinya sebagai pemegang resmi negara Tiongkok dan berpusat di daerah
Nanjing.
Mereka melakukan
klaim agar setelah perang usai, negara mereka mendapat pengakuan internasional.
Sayangnya rival mereka, Partai Komunis Tiongkok pimpinan Mao Zedong merasa
didahului oleh Kuomintang. Geger terus terjadi, korban jiwa dari pihak milisi
maupun sipil terus bertambah. Amerika Serikat dan Uni Soviet berusaha mencari
jalan tengah dari masalah yang terjadi di Tiongkok.
Walaupun
terlihat menengahi konflik, sejatinya kedua negara tersebut (Amerika Serikat
dan Uni Soviet) punya kepentingan masing-masing. Setelah di perjanjian Yalta
keduanya merasa saling curiga dan berusaha menancapkan pengaruhnya di dunia
internasional. Secara tidak langsung, keduanya memberi dukungan kepada masing-masing
kubu di Tiongkok Daratan.
Meski kubu
Kuomintang lebih unggul dalam hal persenjataan, tetapi kubu Komunis memiliki
keunggulan dalam hal mengenal medan pertempuran. Belum lagi kelebihan senjata
dari sekutu saat masa Perang Dunia II dan bantuan dari Uni Soviet, membuat kubu
Kuomintang didesak mundur. Ibu kota Nanjing kini berpindah ke Beiping (kini
menjadi Beijing) dan Kuomintang terpaksa mundur ke Pulau Formosa, tempat di mana
pangkalan militer Amerika Serikat masih ada.
Tahun 1949 menjadi
akhir Perang Saudara Tiongkok, dengan Partai Komunis Tiongkok sebagai
pemenangnya. Mereka mendeklarasikan diri sebagai Repubik Rakyat Tiongkok di
dunia internasional. Sedangkan kubu Kuomintang membentuk pemerintahan darurat
di Pulau Formosa dengan nama Republik Tiongkok atau yang kita kenal sebagai
Taiwan. Daerah yang sebelumnya merdeka dari Dinasti Qing kini dianeksasi
kembali oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok seperti Turkistan Timur,
Tibet, dan lainnya kecuali Mongolia yang menjadi tanggung jawab Uni Soviet.
Editor:
Suyanik
Cancel