Cerita rakyat Sidoarjo
yang sangat melegenda, melatarbelakangi berdirinya Candi Pari dan Candi Sumur.
Mungkin sebagian dari kita, terutama warga Sidoarjo, baik itu yang masih in area atau yang telah merantau, ada
yang belum paham tentang cerita Candi Pari dan Candi Sumur, bisa menyimak
cerita ini.
Candi Pari dan Candi
Sumur adalah salah satu situs bersejarah. Saat ini candi tersebut telah menjadi
destinasi wisata di Kabupaten Sidoarjo. Lokasinya berada di Desa Candi Pari Kecamatan
Porong, jaraknya cukup jauh dari kota Sidoarjo. Candi Pari juga menjadi salah
satu candi peninggalan kerajaan Majapahit. Seperti halnya situs sejarah lainnya,
pasti mempunyai cerita dengan banyak versi.
Candi Pari ini
juga menjadi salah satu ikon Kabupaten Sidoarjo yang membanggakan sebelum
terjadi luapan Lumpur Lapindo. Bencana alam Lumpur Lapindo menenggelamkan
cerita rakyat tentang Candi Pari ini, yang secara kebetulan lokasinya tidak
jauh dari Lumpur Lapindo.
Untuk
membangkitkan kembali sejarah ini, pemerintah menggelar sendratari hingga
festival cerita Candi Pari yang diikuti oleh para siswa di Sidoarjo.
Menurut cerita
dari pengelola, bahwasannya Candi Pari ini simbol dari moksanya Joko
Pandelegan, dan istrinya Nyai Lara Walang Angin. Legenda Candi Pari ini berawal
dari seorang pertapa bernama Kyai Gede Penanggungan.
Kyai Gede
Penanggungan mempunyai dua orang putri
yang diberi nama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin. Dia tinggal
bersama dengan adiknya, Nyai Ijingan, yang sudah janda dan mempunyai seorang
putra bernama Joko Walang Tinunu.
Ketika Joko
Walang Tinunu pergi memancing ikan dengan kedua sahabatnya Satim dan Sabalong,
setelah cukup lama menunggu akhirnya dapat ikan. Ikan tersebut adalah ikan
deleg, jelmaan dari seorang pemuda tampan bernama Joko Pandelegan.
Singkat cerita,
karena keramahan dan kebaikan Joko Walang Tinunu akhirnya mereka bersahabat.
Mereka pun sepakat untuk bekerja keras membuka lahan persawahan di sekitar
pertapaan Kyai Gede Penanggungan.
Berkat kerja
keras dan keuletan, mereka berdua berhasil membuka lahan persawahan ini,
sehingga menarik hati Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin. Begitupun
sebaliknya, Joko Walang Tinunu sangat tertarik dengan Nyai Lara Walang Sangit,
sedangkan Joko Pandelegan dengan Nyai Lara Walang Angin. Akhirnya keduanya
melanjutkan hubungan tersebut hingga ke pelamian. Namun, hubungan mereka sangat
ditentang oleh Kyai Gede Penanggungan.
Meskipun
ditentang, kedua pasangan ini tetap melanjutkan hubungan mereka sampai ke
jenjang pernikahan. Setelah menikah, mereka tetap bekerja keras, sawah mereka
tumbuh subur dan hasil panen melimpah. Kabar ini akhirnya sampai ke telinga raja
Majapahit, Raja Hayam Wuruk yang saat itu mengalami kesusahan. Para petani
mengalami paceklik.
Raja Hayam wuruk
mengirim utusan ke Joko Pandelegan dan Joko Walang Tinunu, dengan pesan, agar
mereka membagikan hasil panennya kepada masyarakat yang membutuhkan. Dengan
sifat dermawan yang dimiliki oleh kedua pemuda tersebut, keduanya mau
membagikan hasil panennya kepada penduduk.
Raja Majapahit
senang mendengarnya, keduanya dipanggil ke istana dengan maksud memberikan
penghargaan sebagai keluarga kerajaan. Namun, keduanya menolak, dengan bujuk
rayu seperti apapun keduanya tetap menolak.
Ini yang membuat
Raja Hayam Wuruk turun sendiri mendatangi kediaman Joko Pandelegan. Kedatangan
sang raja ini dihindari oleh Joko Pandelegan. Joko pandelegan dan istrinya
mohon izin. Joko Pandelegan izin untuk bersembunyi di lumbung padi miliknya dan
akhirnya moksa (menghilang), sedangkan istrinya Nyai Lara Walang Angin memohon
izin mengambil air di sumur yang tak jauh dari lumbung padi miliknya dan moksa
juga.
Raja Majapahit
sangat kecewa dan sedih dengan kenyataan ini. Namun, karena kekagumannya atas keteguhan
hati Joko Pandelegan dan istrinya, sang raja memrintah untuk membangun Candi
Pari di tempat moksanya Joko Pandelegan dan Candi Sumur di tempat moksanya Nyai
Lara Walang Angin.
Menurut cerita,
kedua candi ini berpasangan, Candi Pari adalah candi lanang (laki-laki), sedangkan Candi Sumur adalah candi wedok (perempuan). Desa Candi Pari dulunya namanya adalah Desa Kedungras.
Mungkin teman -
teman lainnya mempunyai versi lain tentang cerita candi, tetapi intinya sama.
Pasangan suami istri Joko Pandelegan dan Nyai Lara Walang Angin bersikukuh
ingin mempertahankan desanya menjadi lumbung padi, untuk kemakmuran penduduk.
Cerita ini
memberikan gambaran kepada kita, bahwa Sidoarjo telah membanggakan dalam sumbangsihnya
untuk kerajaan Majapahit. Semoga kedepannya, walaupun bencana yang di Sidoarjo
belum tuntas 100 persen, tetapi prestasi dan pembangunannya tetap membanggakan
untuk Indonesia … Aamiin.
Editor: Suyanik
Cancel