Masjid adalah sebuah bangunan istimewa yang selalu berkesan
di hati. Tidak pernah berkecimpung di dunia remaja masjid, tetapi tentu saja
selalu merasa aman dan tenang jika berada di masjid. Masjid yang bersih,
walaupun tidak besar dan megah, membuat diri ini betah berlama-lama di
dalamnya.
Masjid yang ideal menurut saya memiliki beberapa kriteria.
Di antaranya adalah bangunan megah walaupun tidak mewah. Kondisi tempat wudu
dan tempat salat yang bersih. Ramai
dikunjungi orang untuk beribadah bahkan belajar Islam. Masjid terbuka 24 jam
untuk umum, tidak hanya ketika waktu salat.
Ada banyak forum pengajian yang digelar baik untuk anak-anak
maupun bapak-bapak. Saldo infaknya selalu nol karena rajin didistribusikan
untuk kepentingan umat. Namun jangan salah, arus pemasukan infak masjid juga
deras bahkan dari para tukang becak yang ingin menyedekahkan uang BLT-nya.
Keren bukan?
Ideal sekali gambaran masjid seperti di atas. Memang ada?
Adalah. Namun, sayang tidak semua masjid seperti cerita di atas.
Ada masjid yang tidak ramah anak dengan melarang anak-anak
kecil untuk berada di dalam masjid dengan alasan kotor dan mengganggu. Apalagi
sampai di diskriminasi, anak kecil tidak boleh berada di shaf depan karena
berpikir akan mengganggu kekhusyukan.
Ada pula masjid yang megah dan mewah, dengan saldo infaknya
berjuta juta. Namun, ketika Ramadan mewajibkan warganya untuk berkontribusi
pada kegiatan berbuka setiap hari. Catat, ya!
Mewajibkan dengan minimal nominal tertentu. Lho, 'kan Ramadan bulan
berbagi? Iya benar, sangat benar. Namun, bila caranya mewajibkan seperti
menarik pajak begitu, kok, rasanya kurang beretika, ya? Tidak semua warga
sekitar masjid itu mampu. Bisa jadi si warga tersebut, sedang kehabisan beras
dan lauk, tetapi karena adanya kewajiban tersebut, akhirnya menjadi berhutang.
Semoga Allah memampukan mereka. Aamiin.
Ada lagi tipe masjid yang hanya akan di buka ketika waktu
salat wajib datang. Selebihnya tutup dan digembok. Musafir yang kebetulan lewat
untuk mampir salat di luar waktu utama salat berjamaah, tidak bisa masuk.
Lebih jauh lagi, ketika ada ide saat membuka masjid untuk
kegiatan pengajian rutin dan semacamnya, maka yang terjawab adalah,
"Bukannya masjid untuk salat, ya, bukan untuk pengajian?" Waduh! Sho
to the ro, shoro lek ngene cak!
Ya sudahlah, memang jenis-jenis masjid tergantung
pengelolaannya. Pengelola masjid apakah termasuk orang yang memiliki growth
mindset atau fixed mindset, akan menentukan arah program
kerja masjid.
Pengelola yang memiliki fixed mindset, yang notabene
biasanya sesepuh penduduk lokal, akan tertutup untuk ide-ide pengembangan
masjid di luar kelompoknya. Apalagi pengelola yang merasa memiliki sendiri
masjid tersebut. Enggan bekerja sama, bahkan menerima ide dari orang lain.
Paling parah terjadi ketika pandemi seperti ini. Tidak ada
prokes, bebas aturan dengan dalih, "Mosok wedi nang penyakit, gak wedi
nang Gusti Allah?"
Kata Cak Kartolo, "Angel wes, angel." Berislam
tapi tidak rasional, ya begitulah. Mengabaikan realitas. Ah, sudahlah! Balik
lagi ke masjid.
Baiklah, kita lihat jaman nabi dulu yang kemudian
dilanjutkan oleh para sahabat, di mana masjid sebagai pusat peradaban. Tidak
hanya untuk salat berjamaah, tetapi juga tempat berilmu dan tempat konsolidasi
umat. Semakin ramai masjid, semakin bagus. Ramai bukan untuk perdagangan, ya,
maksudnya. Akan tetapi ramai untuk kepentingan umat.
Baiklah, menuntut kesempurnaan tanpa aksi bukanlah solusi.
Memang pada akhirnya masjid membutuhkan peran kita untuk mengembalikan fungsi
dan perannya.
Masjid juga membutuhkan pemuda shalih yang progresif untuk
menjadi pengelolanya. Sudah saatnya para pemuda menggeser posisi 'status quo'
yang susah diajak untuk berkembang. Jadikan masjid sebagai pusat peradaban.
Pemuda, kembalilah ke masjidmu! Mari, makmurkan masjid!
Editor: Fie R
Cancel