Oleh Winda Ariyanita
Dulu aku selalu membayangkan bagaimana jika
seandainya semua buku yang kupunya sudah selesai kubaca. Apakah aku akan
membaca ulang buku-buku lama? Ataukah aku akan memborong banyak buku baru?
Kenyataannya tidak keduanya.
Meski tidak menyukainya, aku pernah
melakukannya. Membaca ulang buku-buku lama. Ketika kulakukan itu, aku sadar,
gaya bahasa buku lama berbeda dengan gaya bahasa buku baru. Beberapa kata mengalami
perubahan ejaan. Ini lucu, sih! Bahasa Indonesia masih mengalami perubahan
secara terus-menerus. Pakemnya seakan masih bingung menentukan haluan.
Sebagai penulis pemula, tentunya ini tidak baik
untukku. Aku butuh dan perlu tahu pakem standar Bahasa Indonesia terbaru,
supaya bisa menyesuaikan diri saat membuat cerita. Agar tidak salah terus
menerus ketika mengetik. Worried juga 'kan kalau salah terus? Masa
mengetik harus dibayang-bayangi rasa ragu soal kebenaran ejaan kata?
Namun, itu soal kecil. Kuncinya mungkin aku
harus lebih sering melihat kamus dan thesaurus.
Masalah sebenarnya datang dari pertanyaan,
“Sampai kapan ejaan kata per-kata di Indonesia akan mencapai klimaks?” Mungkin
kamu juga setuju jika ejaan bahasa Indonesia tidak perlu mengalami perubahan-perubahan
lagi, sehingga pembahasan-pembahasan seperti huruf yang lebur ketika
mendapatkan imbuhan tertentu dan kebenaran huruf pada kata yang memiliki
pelafalan huruf hampir sama tidak tertukar lagi. Kelihatannya kecil, tetapi
penting.
Dulu kupikir Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
merupakan puncaknya. Ternyata seiring waktu bergulir, sebutannya berubah lagi
menjadi Pedoman Umum Bahasa Indonesia (PUEBI). Ini kenapa, sih? Kenapa soal
pakem saja harus berubah-ubah? Tidakkah ada pertimbangan yang matang saat hal
ini dibahas oleh pakar bahasa? Iya, dong. Harusnya, jika hal ini sudah selesai
dibahas, pakar bisa menghemat waktu, tenaga, dan biaya untuk pembahasan hal-hal
kecil, tapi krusial ini. Atau memang bangsa kita tergolong bangsa yang sangat
menyukai mengerjakan suatu pekerjaan yang sama secara berulang-ulang? Bahasa
lain sudah entah sampai mana, sedangkan bahasa Indonesia masih bingung
menentukan pilihan.
Aku jadi teringat keluhan temanku yang
mengajarkan bahasa Indonesia ke orang asing. “Bule, tuh, bingung kalau udah
masuk ke soal imbuhan." Dalam hatiku, “Yah, jangankan bule, bangsa kita
sendiri aja masih banyak yang bingung." PUEBI seolah tidak pernah habis
dibahas dari waktu ke waktu. Menambah panjang deret ejaan bahasa yang bahkan
belum tentu selesai pada setiap eranya. Mulai dari Ejaan Van Ophuisjen, Ejaan
Seowandi, Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, Ejaan LBK, Ejaan yang
Disempurnakan, Ejaan Bahasa Indonesia, sampai Pedoman Umum Bahasa Indonesia.
Besok lusa, akan berubah jadi apa lagi?
Editor: Fie R
Cancel