Oleh Kiki Masduki
Masih ingatkah zaman di
mana tv dan gadget belum menjamur seperti sekarang? Berkumpul, bertutur sapa,
dan berbagi kisah cerita dengan penuh kebahagiaan. Kebiasaan ini rupanya menjadi sangat mahal karena sudah
mulai ditinggalkan. Apalagi di tengah pandemi yang semakin naik saja levelnya.
Salah satu poin prokes,
menjaga jarak aman, menjadikan manusia modern saat ini sangat minim
berkomunikasi secara langsung. Semua serba gadget, serba medsos; FB, WA, SMS,
serta telepon, pun dengan tetangga terdekat. Setiap kerumunan menimbulkan rasa
was-was dan syak wasangka.
Penggunaan masker juga
membuat bertutur sapa seperti kurang mengena. Tak jarang banyak yang salah
orang, jika saja tidak dibuka sebentar masker yang wajib melekat sebagai
atribut di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini.
Padahal sebagai
makhluk sosial, menurut Aristoteles
(384-322 sebelum masehi) dalam buku "Ilmu Sosial dan Budaya Dasar"
(Drs. Herimanto, M.pd, M. Si dan Winarno, S.Pd. M.Si, 2012 hal. 44), manusia
merupakan Zoon Politicon yaitu manusia senantiasa bergaul dan berinteraksi
dengan orang lain. Berhubungan dan berinteraksi secara langsung inilah yang
sekarang mulai bergeser dengan segala macam perangkat elektronik.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia atau KBBI, arti kata bertutur adalah bercakap. Arti lainya
adalah berkata. Sehingga bisa diambil kesimpulan bertutur adalah berkata-kata
dalam artian membaca nyaring, mendongeng atau membacakan buku dalam dunia
literasi. Irma Nurul dalam esainya, "Membaca dan Bertutur" (Pena Belajar, Kemdikbud, 2020)
menulis, "Budaya bertutur, mendongeng, menceritakan kisah dari masa ke
masa dilakukan nenek moyang kita sejak zaman dahulu." Budaya ini kemudian
semakin dikembangkan oleh Wali Songo. Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama
Islam melalui wayang, kembali dengan cara menuturkan kisah, "Budaya
bertutur seperti mendongeng dan membaca nyaring adalah pintu gerbang anak- anak
mengenal dunia literasi lainnya seperti membaca dan menulis sejak dini."
Penting sekali menanamkan
kecintaan membaca dan menulis lewat bertutur sejak dini. Dalam sampul belakang
buku "Kejutan Kungkang" (Noura Kids, 2021) Rossie Setiawan seorang
pegiat membacakan nyaring dan pendiri komunitas Reading Bugs mengatakan,
"Membaca nyaring membuat anak mendapatkan unsur-unsur yang dibutuhkan
untuk belajar membaca: pengetahuan abjad, kesadaran fonem, atau bunyi bahasa,
dan kosakata." Anak- anak akan berusaha meniru apa yang dibacakan,
meskipun belum bisa berbicara.
Manfaat paling penting
dari itu semua, anak- anak menyukai buku bacaan tanpa harus dipaksa berlebihan.
Hal ini telah saya buktikan untuk kedua anak saya, Khodijah Nidaa an Khofiyyaa,
4 tahun dan Thoriq Muhammad Ziyad, 1,6 tahun. Sejak usia 0 bulan, saya sering
membacakan buku sambil menimang atau sengaja tiduran di samping anak saya.
Hasilnya sungguh luar biasa. Baik Nida dan Ziyad tumbuh menjadi anak-anak yang
mencintai buku. Saya sampai kewalahan memenuhi keinginannya untuk dibacakan
buku. Padahal huruf abjad A-Z saja masih belum bisa semua. Nida selalu memilih buku bacaan yang harus saya
baca. Atau Ziyad yang baru bisa berjalan, mencari saya di ruang baca jika saya
tidak ada, sambil membawa buku bacaan anak yang ringan. Tutur istri saya, Siti
Nurhayati, 25 tahun, sekali waktu.
Dalam bukunya
"Segenggam Gumam" (Syamil, 2003 hal. 22) Helvy Tiana Rosa menulis,
"Tidak bisa tidak, membaca menjadi salah satu keterampilan dasar yang
harus dikuasai manusia modern bila ingin sukses dalam kompetisi yang semakin
keras di masa mendatang." Dan pintu gerbang anak- anak menyukai membaca
salah satunya adalah dengan budaya bertutur.
Budaya mendongeng atau berkisah.
Saya mempunyai dua guru
bertutur terbaik. Keduanya wafat dalam usia yang relatif muda. Bahkan belum
menikah. Alfatihah untuk beliau berdua. Yang pertama, kakak perempuan saya
bernama Iqoh Shodiqoh. Beliau senantiasa menceritakan kisah-kisah teladan. Baik
itu para nabi, sahabat nabi, tabiin, maupun ulama-ulama terkemuka.
Kisah Nabi Yusuf as
adalah kisah terakhir yang beliau bacakan dari kitab berbahasa Sunda “Ahsanul
Qissah” dengan tulisan Arab. Saya masih ingat, kisah Nabi Yusuf as dibacakan
selama seminggu setiap ba’da asar. Saya tiduran di ruang tamu sambil
membayangkan kisah teladan tersebut.
Sementara kakak sepupu
yang bernama Ade Mukhsin selalu mendongeng cerita dari dunia imajinasi. 'Oray
Sagede Kasur' menjadi dongeng paling saya ingat hingga saat ini. Bahkan lagu
dari dongeng itu masih saya hafal. Geber-geber hihid aing. Hihid aing
kabuyutan. Titinggal Nini awaking.
Dari sanalah saya
akhirnya mencintai dunia literasi ini. Senang mendongeng, berkisah, atau
bertutur di setiap pembelajaran tatap muka bersama anak-anak sekolah. Jika saya
masuk kelas, yang pertama meraka tanyakan adalah lanjutan kisah kemarin yang
sengaja saya buat bersambung.
Untuk itulah Ayah Bunda
atau guru-guru, dalam setiap proses pembelajaran wajib bertutur dengan dongeng atau kisah teladan supaya anak tidak
jenuh dan ada contoh real dalam kehidupan nyata. Ini yang selalu dilakukan kyai
saya di pesantren dulu. Di sela-sela menerangkan isi kitab, KH. Ahmad Yusuf
Malik selalu menyelingi dengan dongeng-dongeng lucu atau terkadang mengharu
biru. Bertutur dengan membacakan buku atau mengenalkan huruf demi huruf kepada
anak menggunakan suara nyaring, kini mulai jarang dilakukan oleh para orang
tua.
Orang tua merasa merasa
cukup tenang melihat anak asyik sendiri menonton tayangan tv atau bermain
dengan gadget lainnya tanpa didampingi.
Asalkan tidak rewel, diam, dan yang penting happy. Sedangkan
mereka juga ikutan asyik dan berkomentar ria di berbagai medsos yang kebanyakan
hanya dunia hiburan saja.
Diakui atau tidak, di
tengah pandemi ini menjamur berbagai konten para youtuber yang sangat menyita
perhatian semua orang, termasuk anak- anak. Ditambah pembelajaran sekolah harus
menggunakan gadget, membuat mereka pada akhirnya lebih menyukai konten-konten
hiburan, status status alay, daripada pembelajaran yang sesuai dengan masanya.
Di satu sisi banyak
komunitas literasi berusaha mati-matian lewat Zoom atau laman medsos lainnya
untuk melestarikan budaya bertutur. Namun, bertutur secara langsung tanpa
rekaman yang diputar ulang sangatlah berbeda dan lebih mengena. Ada kedekatan
emosional yang bisa dibangun.
Ayah Bunda bisa membangun
bonding atau kedekatan dengan anak lewat budaya bertutur. Para guru bisa
menanamkan pendidikan karakter lewat budaya bertutur. Sehingga di kemudian
hari, generasi yang telah disiapkan benar-benar generasi robbani yang akan
membangun peradaban mulia di bumi pertiwi yang kita cintai ini.
Bismillaah. Iqro
bismirobbik. Ayo bertutur. Jangan biarkan ia luntur!
Panjalu Ciamis, 30 Juli 2021
Editor: Fie R
Cancel