Oleh Rafif Amir*
Tuduhan besar dan tak main-main dilayangkan pada Hamka: penjilat Jepang!
Sikap Hamka memang agak lunak pada Jepang. Tapi bukan berarti sebuah pengkhianatan. Bukan berarti tanpa dasar. Bukan berarti mengeruk keuntungan untuk pribadi. Bukan berarti menjual harga diri dan menistakan tanah airnya. Bukan!
Hamka justru sedang bersiasat untuk menyelamatkan bangsanya.
Hamka melihat dengan nyata kekejaman Jepang. Hamka tahu bagaimana Teungku Abdul Jalil dan 98 muridnya dibunuh karena menolak seikerei.
Hamka meyakini bahwa Teungku dan murid-muridnya itu syahid.
Tapi Jepang saat itu bukan lawan yang sepadan. Belum bisa langsung dilawan dengan senjata tajam. Sementara kekuatan rakyat belum tergalang.
Maka Hamka menerima tawaran Jepang untuk bekerja sama.
Sejak itulah fitnah dan tuduhan mulai berhembus kencang. Sedari awal, Hamka menyadari akan kemungkinan itu.
Dalam memoarnya ia menulis, "Maka sejak 20 Juni 1943 itu Hamka San tidak dapat surut ke belakang lagi. Dia telah mempermainkan suatu permainan berbahaya. Dia telah mencetak beribu-ribu kawan dan pengikut. Di samping itu, beribu-ribu lawan dan musuh."
Namun satu yang Hamka yakini: semua itu ia lakukan untuk meminimalisir bahaya yang akan menimpa umat Islam!
Buktinya, upaya diplomasi Hamka dalam hal tatacara seikerei Jepang membuahkan hasil. Sehingga tak perlu lagi ada ratusan umat Islam yang dipenggal. Selain itu, Hamka juga berhasil menyelamatkan Muhammadiyah dari pembubaran paksa.
Hamka memilih menjadi pemimpin moderat untuk menyelamatkan umat, bukan untuk kedudukan dan iming-iming harta dari Jepang. Karena Hamka tahu, jika ia berkeras hati, nyawanya mungkin telah melayang, sebagaimana pemimpin-pemimpin yang lain.
Namun sikap moderat Hamka itu disalahartikan. Bahkan oleh sahabat-sahabatnya sendiri, oleh teman-teman seperjuangannya. Hamka dianggap sebagai antek Jepang, anak emas Jepang.
Itulah momen yang paling menyakitkan bagi Hamka. Bagaimana seseorang yang sedang berjuang dengan siasat untuk menyelamatkan rakyat justru dituduh berkhianat. Hamka tak tahan. Ia juga manusia. Bisa sedih dan merasakan pedih.
Hamka pulang. Angkat kaki dari Medan.
Ia memilih menulis, mengayunkan penanya sekencang mungkin. Ia luapkan semua isi hatinya. Ia letupkan semua semangat perjuangannya. Karya-karya emas lahir. Karya-karya yang kelak menjadi mata air di sanubari umat.
Di tengah perjuangan dakwah dan menulisnya, kabar bahagia itu datang. Indonesia merdeka. Indonesia telah merdeka.
Rasa syukur Hamka tak berhenti di lisan. Hamka ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda. Hamka ikut keluar masuk hutan. Di antara desing peluru dan dentuman meriam.
Inilah Hamka. Hamka yang tak pernah berubah. Ia tahu kapan harus berdiplomasi, kapan harus mengayun pena, dan kapan harus mengangkat senjata.
Idealisme Hamka tak dapat dibeli. Ia sudah terpatri dalam hidup dan mati.
Hamka tentu telah membaca sirah. Bagaimana sejarah perjanjian hudaibiyah mengajarkan pada kita bahwa yang tampak merugikan tak berarti kekalahan.
Dalam strategi perang, terkadang mundur selangkah diperlukan untuk menyusun serangan mematikan.
Para pejuang harus memahami situasi. Tidak asal punya semangat lalu main serang. Mereka juga harus memahami psikologi dan kekuatan musuh. Terkadang melakukan upaya diplomasi, kesepakatan-kesepakatan, dan gencatan.
Hudaibiyah menjadi pondasi penting bagi Fathu Makkah yang gilang-gemilang. Sesuatu yang tampak sebagai kekalahan, kemunduran, ketundukan, ternyata adalah siasat politik untuk meraih kemenangan besar.
Dari kisah-kisah itu kita belajar. Dari kisah-kisah itu kita mengambil iktibar. Dan hanya terus memastikan, bahwa darah dan napas yang mengalir dalam tubuh kita tetaplah darah dan napas para pejuang.
Sidoarjo, 17 September 2024
Penulis buku "Masyumi, PKI, dan Politik Zaman Revolusi"
Cancel